Satu bulan lalu menjadi hari-hari berat yang dimilik Mas Figo dan Mbak Vita. Mungkin pula untuk keluargaku. Kami menghadapi beberapa masalah yang sebelumnya tidak pernah kami alami. Demi menyambut anggota keluarga terbaru, kami harus tersandung dengan batu besar itu. Amarah, kekecewaan, keputusasaan, dan perdebatan panjang.
Titik terberat di antara semua rintangan terjadi pada hari di mana Mas Figo bertemu dengan Om Doni. Hubungan Mas Figo dan Mbak Vita yang terbilang baik-baik saja nyaris berakhir akibat hari itu. Aku tidak tahu bagaimana setiap detiknya momen pertemuan itu berlangsung. Aku tidak berada di sana. Aku hanya bisa mendengar cerita roller coaster dari lisannya Mas Figo di ruang keluarga kami. Bahkan, sepulangnya Mas Figo dari kediaman Om Doni di Bandung, dia terlampau diam. Mas-ku tidak langsung memberitahu apa yang tengah terjadi. Dia membutuhkan waktu berperang dengan emosinya sampai sekitar dua puluh jam berikutnya baru Mas Figo siap membuka tabir yang kami tunggu-tunggu.
Di awal tatap muka keduanya, Mas Figo sudah mendapatkan sambutan yang kurang menyenangkan. Sekeras apapun mas-ku itu berusaha untuk bersikap santun, hanya tatapan sinis yang dia dapatkan dari calon mertuanya. Cara bicara Om Doni sangat jelas terdengar ketus. Pria itu sama sekali tidak peduli pada teguran putri sulungnya yang memohon berkali-kali untuk berbicara baik-baik dengan Mas Figo. Bahkan, Om Doni tidak pandai berbasa-basi. Dia langsung menodong Mas Figo dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurutku bisa dibahas di tengah pembicaraan. Beberapa yang aku ingat di antaranya : berapa mahar yang bisa disiapkan, apakah Mas Figo sudah memiliki rumah sendiri setelah pernikahan nanti, berapa penghasilan bersih setiap bulan, dan gilanya lagi ada satu pertanyaan yang membuatku tidak habis pikir. Kurang lebih kalimatnya seperti ini, "Selama ini Vita tidak pernah absen mengirimi uang ke keluarganya. Jika kamu menikah dengannya, apakah kamu sanggup menanggung hal tersebut? Atau jika kamu tidak sanggup, kamu tidak boleh melarang Vita untuk bekerja demi tetap bisa membantu keluarganya."
Sangat tidah tahu diri pria tua bangka itu! Aku sampai kehilangan kata-kata saat mendengar bagian mengesalkan itu. Kok, ada seorang ayah memiliki pola pikir begitu?
Tentu saja Mbak Vita tidak hanya tinggal diam. Dia langsung terbakar amarah setelah papanya menyulut api terlebih dahulu. Mbak Vita tidak membiarkan Mas Figo menjawab beberapa pertanyaan konyol yang bahkan rasanya sangat tidak pantas dilontarkan oleh papanya. Papa kandungnya. Mbak Vita mengatakan jika Om Doni tidak memiliki hak menuntut sesuatu yang sangat besar atas dirinya. Sejak lahir, almarhumah sang ibu yang menjadi tulang punggung dengan membuka salon di sebuah ruko kecil. Sementara Om Doni hanya bertugas menjadi pengendara transportasi beroda dua setiap kali istrinya membutuhkan. Malah ketika usia Mbak Vita baru dua minggu, alm ibunya sudah mengasuh di tempat mereka mencari nafkah. Setiap penggal kisah tersebut Mbak Vita dapat dari sang nenek yang melahirkan ibunya.