Sejak mengirimkan sejumlah uang dengan nominal yang menurutku cukup besar, Mbak Vita belum bertukar pesan lagi dengan Om Doni. Biasanya tidak lebih dua minggu Om Doni kembali menghubungi putrinya itu untuk berdalih bahwa kebutuhan bertambah dan semakin banyak. Mungkin karena sepuluh juta lembaran yang sangat banyak itu bisa membuat Om Doni bungkam setidaknya beberapa minggu ke depan. Merana sekali menjadi Mbak Vita yang selalu diperas jeri payahnya. Aku bahkan berdoa suatu saat nanti ada hidayah besar yang datang pada Om Doni. Siapa tahu bisa membuat pria itu menyadari kesalahannya pada sang putri sulung.
Sudah hampir satu bulan usia pernikahan Mas Figo dan mbak iparkku yang sangat baik. Semakin mengenal sosok Mbak Vita yang terlampau tulus, maka aku semakin menyayanginya. Bukan hanya sekadar mbak ipar melainkan mbak kandungku sendiri. Kami sering sekali bertukar cerita di setiap waktu kosong. Aku dan mbakku itu sudah tidak sungkan lagi satu sama lain. Aku merasa kami seperti saudara sedarah sekandung. Tidak hanya aku, tetapi semua keluargaku. Sangat jelas sikap yang ditunjukan oleh kedua orang tuaku, bahkan Mas Frodi sekalipun. Mas keduaku itu malah sangat berterimakasih pada Mbak Vita yang memberikannya pekerjaan paruh waktu dengan menjadi drumer di sebuah band indie. Hampir setiap malam Mas Frodi disibukkan dengan mengisi acara di berbagai kafe live music.
Apalagi ibuku. Kalau tidak salah aku ingat sekitar tiga hari setelah Mas Figo dan Mbak Vita resmi menjadi pasangan suami-istri, mereka mengutarakan niatnya untuk pindah dari rumah kami. Keduanya ingin sewa satu rumah sederhana yang letaknya pun tidak terlalu jauh dari sini. Lalu bagaimanakah kedua orang tuaku menanggapinya? Kalau ayah tampak masih berpikir dan belum memberikan jawabannya. Berbeda dengan ibu yang langsung mengeluarkan air mata cukup deras. Bukannya berusaha untuk menghibur, aku yang pada saat itu juga berada di sana malah merasa lucu dengan tingkah Bu Firda. Masalahnya pemandangan tersebut seperti anak kecil yang kerap ditinggal ibunya ke pasar. Jadi mana mungkin aku bisa menahan bibirku yang terus memaksa untuk melengkung ke atas.
Melihat respon ayah dan ibu yang sangat berat melepas kedua anaknya pindah rumah, akhirnya mas dan mbakku mengurungkan niat mereka. Setidaknya bukan dalam waktu yang dekat mereka akan pindah. Siapa tahu mereka hanya menunda sampai ayah dan ibu benar-benar mau mengijinkan. Sebenarnya bukan karena Mbak Vita tidak betah tinggal satu atap dengan mertuanya. Mereka hanya ingin mandiri dan membangun keluarga kecilnya sendiri. Mbak Vita juga mengatakan bahwa dia takut rasa nyamannya hidup bersama keluarga kami akan membuat terus ketergantungan. Singkatnya Mbak Vita ataupun Mas Figo tidak ingin selalu merepotkan ayah dan ibu.
Pak Fajar dan Bu Firda adalah satu banding seribu di antara pasang mertua lainnya yang memperlakukan menantunya teramat baik. Mereka sama sekali tidak membandingkan siapa anak kandung mereka atau bukan. Ayah ibu juga bukan tipikal mertua yang suka ikut campur apapun masalah yang tengah dihadapi oleh rumah tangga putranya. Kecuali mereka diminta ikut melibatkan diri. Namun, selama sebulan ini tidak ada masalah di antara rumah tangga baru Mas Figo dan Mbak Vita. Semoga terus seperti ini selamanya. Tetapi kembali lagi, kan, mana ada rumah tangga yang baik-baik saja seterusnya? Siapa yang tahu soal ini.
"Mas Figo jemput Mbak Vita jam berapa? Biasanya jam segini udah berangkat," tanyaku sambil melirik jam dinding yang jarum pendeknya berada di angkat sembilan.
"Vita minta jemput jam sepuluh. Katanya ada party anak konglomerat di tempat kerjanya." Mas Figo tetap fokus pada pekerjannya. Sudah sejam yang lalu aku dan mas-ku menyiapkan keperluan jualan untuk besok.
"Mas, boleh enggak kapan-kapan aku ikut ke tempat kerja Mbak Vita?"
"Enggak. Kamu masih SMA. Belajar dulu yang bener." Mas-ku tetap tidak menoleh ke wajahku. Dia masih sibuk memotong sayur kol.
"Atau minimal aku ikut jemput, deh. Kan, mau tau juga tempat kerja mbak-ku."