Dua hari setelah mengajakku ke gerobak soto mie bogor di pinggir jalan, Mbak Vita sering sekali bolak-balik ke ke kamar mandi atau wastafel dapur. Mbak Vita mengatakan perutnya sangat mual dan tidak bisa menahan untuk tidak muntah. Seperti ada sesuatu yang terus bergejolak di dalam perutnya. Hampir dua bulan penuh mbakku itu jarang keluar dari kamar. Dia seolah hanya ingin berbaring sepanjang hari di ranjangnya. Mandi pun jarang kalau belum ada banyak keringat di seluruh tubuhnya. Dan satu hal yang paling Mbak Vita tidak bisa tahan ketika ibuku mulai menyalakan mesin penanak nasi. Bunyinya sudah membuat Mbak Vita cemas karena tidak lama setelahnya akan ada aroma nasi baru matang yang menyengat, menurutnya. Saat itu juga kepala Mbak Vita pening dan langsung cepat-cepat ke kamar mandi untuk mengikuti kemauan perut mualnya.
Di akhir bulan ketiga kandungannya, Mbak Vita mulai membaik. Dia sudah jarang berada di kamarnya dari siang ke sore hari. Yang sebelumnya enggan mengobrol banyak dengan siapapun termasuk suaminya sendiri, sekarang Mbak Vita sudah sering bergabung lagi di ruang keluarga bersama kami.
"Frodi belum pulang?" tanya Mbak Vita seraya mengambil posisi duduk di ujung sofa. Bersebelahan dengan Mas Figo yang tengah menghitung hasil jualan hari ini.
"Pulang agak malam katanya. Ada event di balai kota," jawab sang suami tanpa menghentikan aktivitasnya.
"Go, bulan ini kamu sudah kirim uang ke papa mertuamu?" tanya ayahku yang baru keluar dari kamarnya.
"Belum, Yah. Baru dapat tiga juta." Mas Figo menghentikan kegiatannya untuk beralih fokus ke ayah.
"Langsung kirim besok saja. Nanti ayah tambahin dua jutanya. Ini sudah hampir akhir bulan soalnya."
Seketika aku yang sedang sibuk dengan ponsel langsung mencari wajah ayah. Begitupun Mbak Vita dengan terkejutnya.
"Yaudah, Yah. Biar Figo pinjam dulu. Nanti pasti Figo balikin kalau udah ada."
"Ndak usah, ndak apa-apa," jawab ayahku begitu santainya. Berbanding terbalik dengan kening Mbak Vita yang berkerut.
"Maaf, Yah. Vita sela sedikit. Besok biar Figo kirim ke papa tiga juta aja. Ayah enggak usah tambahin. Vita enggak mau kalau sampai ngerepotin ayah terus." Mbak iparku pun buka suara.
"Wes, ora opo-opo. Ayah sama sekali ndak merasa direpotkan. Kasian nanti papa sama adik kamu kalau uang bulanannya kurang."
"Enggak, Yah. Vita serius. Nanti biar Vita yang ngomong sama papa kalau bulan ini enggak bisa ngasih bulanan kayak biasa. Papa pasti ngertiin. Sebelumnya kadang Vita juga enggak selalu ngasih full ke papa," jelas Mbak Vita.
"Tapi nanti kalau papa kamu marah gimana, Vit? Mending kita pinjam uang ayah dulu, ya." Mas Figo memberi saran.
"Enggak. Enggak akan. Udah pokoknya besok kamu kirim uang ke papa tiga juta aja. Oke?" Dengan cara yang hanya Mbak Vita miliki, akhirnya dia berhasil membuat Mas Figo setuju.
"Ya, sudah. Bagaimana Vita saja kalau gitu. Tapi nanti misalkan butuh, langsung bilang saja ke ayah, ya."
Mbak Vita mengangguk sambil tersenyum kecil. Aku yakin dia berusaha membuat ayahku atau Mas Figo tidak terlalu khawatir.