Dua hari lalu, Mbak Vita sudah mulai merasakan kontraksi pertama. Kami sekeluarga panik dan langsung menghentikan apapun kepentingan kami di luar sana. Ayah dan ibu yang baru saja akan membuka lapaknya, ketika Mas Figo memberi kabar mengejutkan itu, mereka pun bergegas menutup kembali tempat mencari nafkah yang sudah belasan tahun itu. Kemudian aku yang sedang berada di dalam mimpi langsung membuka mata dengan lebar saat Mas Frodi membuka pintu kamarku sambil berteriak, memberitahuku tentang kondisi Mbak Vita.
Pagi-pagi buta itu kami mendatangi klinik terdekat. Tidak membutuhkan waktu lama kami di sana karena ternyata Mbak Vita baru pembukaan pertama. Dokter mengatakan jika rasa mules di perut Mbak Vita semakin naik dan bertambah, baru nantinya kami harus segera membawa mbakku itu ke rumah sakit.
Dan sekarang adalah waktunya. Kami tengah menunggu di depan ruangan bersalin sebuah rumah sakit yang tidak jauh dari pasar tempat Mas Figo berjualan. Di rumah sakit ini juga tempat Mbak Vita memeriksa kehamilannya setiap bulan. Kecuali Mas Figo yang sedang menemani istrinya di dalam, aku dan yang lain tenggelam dalam keheningan masing-masing. Kami sama-sama berdoa, berharap, dan memohon untuk keselamatan serta kesehatan Mbak Vita bersama bayinya.
Ayah yang lagi-lagi selalu setia dengan tasbih di tangan dan dzikir di lisannya. Ibu yang membaca Al-Quran berukuran kecil dengan suara lembut. Lalu aku sendiri yang tidak berhenti memohon ke Sang Pencipta, sekaligus membuat beberapa janji kepada -Nya. Seperti, aku tidak akan berpacaran sampai lulus sekolah, tidak akan marah jika dijahili oleh Mas Figo, senantiasa membantu apapun itu yang menyangkut dengan mengurus ponakanku, dan janji-janji lainnya demi keselematan Mbak Vita. Juga keponakanku tentunya.
Suara samar-samar terdengar dari arah dalam. Suara teriakan Mbak Vita yang sontak membuat ketegangan luar biasa di ruang tunggu. Aku bisa perkiraan jika mbakku itu sedang berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengejan sesuai instruksi dokter. Ibuku yang sudah menitihkan air mata berkali-kali mulai menutup bacaan sucinya dan beralih ke doa-doa yang dia panjatkan sambil mengangkat kedua tangan. Dan Mas Frodi yang sejak awal belum aku sebutkan, dia duduk di paling ujung kursi berderet enam sambil menunduk. Entah apa yang dipanjatkannya, tetapi aku sangat yakin kalau dia sama cemasnya dengan kami.