Istilah tentang seorang anak pembawa rezeki bukanlah sebuah mitos apalagi kebohongan. Hal tersebut benar adanya dan terbukti nyata. Sangat akurat. Aku sendiri merasa takjub dan tidak bisa berhenti mengucapkan lafadz suci setiap kali hal itu terjadi. Kelahiran Gian tiga bulan lalu membawa banyak berkah untuk keluarga kami, khususnya kedua orang tua bayi laki-laki itu. Berkah yang sangat besar.
Sebelumnya, warung soto milik Mas Figo memang sudah ramai dengan pembeli. Namun, sejak Gian hadir di dalam kehidupan ini, keuntungan yang Mas Figo dapat setiap harinya sangat besar. Berkali lipat dari yang sudah-sudah. Mas Figo sampai harus membeli beberapa set kursi dan meja lagi untuk diletakkan di bagian depan warung. Kios sederhana yang disewa mas-ku sudah lebih dari lima tahun itu tidak bisa menampung semua pelanggan yang datang. Malah kami sering diprotes oleh lapak lainnya lantaran area parkir kendaraan yang setiap paginya kami kuasai.
Satu minggu lalu, kami sekeluarga kembali berdiskusi hal penting. Sebenarnya bukan hal baru yang kami bahas. Kami hanya membuka kembali topik yang sebelumnya pernah kami bicarakan. Yaitu tentang niat Mas Figo dan Mbak Vita untuk mandiri dengan keluarga kecilnya.
Berat, pastinya. Apalagi perkembangan Gian sudah semakin beraneka ragam. Membuat kami semua selalu merasa gemas dengan setiap apa pun yang dilakukan bayi gembul itu. Namun, akhirnya ayah dan ibu tidak ingin mementingkan egonya lagi. Mereka sepakat mengijinkan mas dan mbakku untuk pindah. Sedangkan aku dan Mas Frodi hanya menurut saja, meskipun kami tetap tidak bisa menunjukkan wajah senang. Toh, rumah kontrakan Mas Figo tidak begitu jauh dari tempat tinggal kami. Hanya berjarak dua blok saja.
Dengan akumulasi keuntungan yang Mas Figo kumpulkan selama tiga bulan ini, dia memutuskan membuka satu warung soto lagi di daerah pinggiran kota Bogor. Warung sebelumnya akan dikelola oleh Mas Karno yang sudah cukup lama bekerja di sana untuk membantu Mas Figo. Dan untuk warung yang barunya akan dirintis oleh mas-ku sendiri. Sementara aku berkomitmen membantu usaha warung soto Mas Figo atau terkadang menjaga Gian saat Mbak Vita tengah sibuk di warung. Kami harus bergotong-royong demi masa depan Gian.
"Nih, buat Gian," ucap ayah seraya meletakkan sebuah buku tabungan beserta kartu atm di depan Mas Figo. Sekitar satu jam lalu kami baru saja menyelesaikan acara syukuran sederhana di rumah sewa Mas Figo.
"Ini apa, Yah?" tanya Mas Figo seraya mengambil buku tabungan tersebut dan membalik lembaran paling depan. Keningnya berkerut lantaran terkejut melihat nominal yang tertera di sana.
Mas Figo langsung mencari wajah ayah yang terlihat sangat santai. Sama seperti ibu yang sudah duduk lebih dulu bersama kami di ruang tamu. Sedangkan aku hanya senyam-senyum karena sudah tahu dengan rencana ayah ini. Bagaimana tidak, sebab namaku lah yang dipinjam ketika membuat tabungan untuk Gian.
"Bukan cuma warung kamu aja yang kebanjiran pembeli, Go. Tapi lapak ayah dan ibu juga samanya. Kami sampai ndak bisa berhenti buat melayani pembeli yang datang. Semua ini karena berkah yang datangnya dari cucu ayah. Makanya ayah mau kasih sedikit hadiah ke Gian," jelas ayah panjang lebar.
"Sedikit gimana, sih, Yah? Ini dua puluh juta, lho, Yah. Masa segini dibilang sedikit." Mas-ku masih tampak tidak terima dengan pemberian ayah.
"Udah, Go. Ndak apa-apa. Ayah udah menyiapkannya dari jauh-jauh hari. Bahkan sebelum Gian lahir. Diterima aja. Ndak boleh nolak rejeki. Itu, kan, buat Gian bukan buat kamu." Ibu pun membuka suara.