Saat berita tragis itu sampai di telinga kami, rasanya seperti mimpi buruk yang tak berujung. Air mata terus mengalir tanpa henti, sementara kesedihan yang begitu dalam mencekik dada. Namun, di tengah kegelapan yang meliputi, dokter memberi tahu kami bahwa masih ada harapan kecil yang bisa dipegang—Gian dan Mas Frodi masih hidup, meski dalam kondisi yang kritis.
Aku tidak bisa berhenti berpikir tentang Gian, anak kecil yang polos dan selalu ceria. Dia masih terlalu muda untuk mengalami penderitaan ini. Dan Mas Frodi, kakak yang selalu penuh semangat dan bercanda dengan kami semua, kini terbaring lemah, berjuang untuk hidupnya.
Setelah menenangkan diri sejenak, aku, Ayah, dan Ibu mendekati ruang ICU tempat mereka dirawat. Suara mesin-mesin medis yang monoton terasa menyesakkan. Gian terbaring dengan tubuh kecilnya yang penuh dengan luka, selang-selang menempel di tubuhnya. Dia terlihat begitu rapuh. Hatiku hancur melihatnya dalam kondisi seperti itu. Di sampingnya, Mas Frodi juga terbaring tak berdaya. Meski masih sadar, raut wajahnya menunjukkan betapa besar rasa sakit yang ia alami.
Aku mencoba tersenyum dan berkata, “Mas, Gian, bertahan, ya. Kita semua di sini untuk kalian.” Suaraku bergetar, hampir tidak bisa terdengar. Mas Frodi hanya menatapku dengan mata yang mulai basah. Aku tahu, dia juga merasakan kesedihan yang sama, tapi dia terlalu lemah untuk mengungkapkannya.
Dokter menjelaskan bahwa Gian dan Mas Frodi mengalami cedera yang cukup parah. Gian menderita patah tulang dan beberapa luka dalam yang serius, sedangkan Mas Frodi mengalami luka di kepala yang membuatnya sangat lemah. Dokter tidak bisa memastikan berapa lama mereka harus dirawat, atau apakah mereka akan pulih sepenuhnya. Kabar itu semakin menambah beban di hatiku.
Hari-hari setelah kejadian itu terasa sangat lambat. Aku dan kedua orang tuaku bolak-balik ke rumah sakit, berharap ada kabar baik tentang kondisi Gian dan Mas Frodi. Tapi setiap kali, dokter hanya bisa memberikan senyum tipis yang penuh kekhawatiran. Aku mencoba kuat di depan Ayah dan Ibu, tapi setiap malam saat aku sendirian, air mata itu selalu datang. Rasa kehilangan yang begitu besar membuatku hampir tidak bisa bernapas.
Meski begitu, aku tahu aku harus bertahan, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi juga untuk Gian dan Mas Frodi. Mereka sangat membutuhkan dukungan kami.
Waktu terus berjalan, tapi rasanya setiap detik terasa begitu lama. Suara detak jam di ruang tunggu rumah sakit seolah menjadi pengingat betapa lambatnya hari berlalu. Setiap kali pintu ruang ICU terbuka, jantungku berdegup kencang, berharap ada kabar baik. Namun, seringkali yang datang hanya perawat dengan wajah datar, sibuk dengan tugasnya. Tak ada kabar yang bisa memberikan sedikit rasa lega.