Minggu-minggu setelah kecelakaan itu berlalu dengan lambat, seperti berjalan di dalam kabut tebal yang tak kunjung hilang. Gian dan Mas Frodi akhirnya sudah bisa dipulangkan. Itu adalah tanda bahwa kondisi mereka mulai membaik, meskipun perlahan. Gian, meskipun masih sering terbaring lemah, mulai menunjukkan senyum kecilnya yang dulu selalu menghiasi hari-hari kami. Sedangkan Mas Frodi, meski suaranya masih serak dan tubuhnya lemah, mulai bisa duduk sendiri dan berbicara lebih lancar.
Namun, di balik tanda-tanda pemulihan itu, ada luka lain yang lebih dalam, yang tidak bisa sembuh hanya dengan waktu. Kehilangan Mas Figo dan Mbak Vita masih membekas seperti luka yang terus berdarah, meski ditutup dengan perban harapan. Setiap kembali ke rumah sakit untuk pengecekan berkala keadaan Gian dan Mas Frodi, selalu ada hal yang menggangguku. Setiap sudut rumah sakit, setiap suara langkah perawat, dan bahkan bau antiseptik yang menusuk hidung selalu mengingatkanku pada dua sosok yang tak akan pernah kembali.
Hari pertama Gian bisa duduk di tempat tidurnya, aku melihatnya menatap kosong entah ke mana. Tidak ada lagi keceriaan yang biasanya memancar dari matanya. Ketika aku mencoba mengajaknya berbicara, dia hanya menyebut dua hal yang sama.
"Mama ... papa ...."
Dua kata yang sebenarnya biasa saja, tapi seolah seperti belati yang menusuk hatiku. Aku terdiam, tidak tahu harus membalas apa. Akhirnya, aku hanya memeluknya erat, membiarkan air mata jatuh tanpa kata.
Begitu pula dengan Mas Frodi. Meskipun dia berusaha kuat, aku tahu ada duka yang dia pendam. Malam-malam ketika aku menemaninya, aku sering melihatnya menatap langit-langit kamar dengan mata yang kosong. Kadang-kadang, dia berbisik, memanggil nama Mas Figo seolah berharap papanya bisa menjawab. Saat itu, aku hanya bisa duduk di sampingnya, memegang tangannya erat, berharap kehadiranku bisa sedikit mengurangi rasa kehilangan yang dia rasakan.
Ayah dan Ibu berusaha juga keras menjaga kekuatan mereka, terutama di depan Gian dan Mas Frodi. Namun, aku sering mendapati mereka berdua termenung di ruang tamu, menatap foto keluarga yang tergantung di dinding. Foto itu kini terasa seperti kenangan yang terlalu pahit untuk dilihat, namun terlalu berharga untuk disingkirkan.
Meski begitu, hidup terus berjalan. Gian harus menjalani fisioterapi untuk memulihkan tulang-tulangnya yang patah, sementara Mas Frodi harus menjalani pemeriksaan rutin untuk memastikan tidak ada komplikasi lebih lanjut dari cedera di kepalanya. Setiap kali mereka berhasil melewati satu sesi terapi, aku merasa sedikit beban terangkat, meskipun rasa sakit akibat kehilangan masih berat.