Hari Selepas Kepergian Mereka

Rika Kurnia
Chapter #19

Langkah Pertama Menuju Kedamaian

Beberapa bulan telah berlalu sejak kecelakaan itu. Gian dan Mas Frodi mulai pulih, meskipun bekas luka di hati kami tak pernah benar-benar hilang. Kehilangan Mas Figo dan Mbak Vita masih terasa nyata, tapi hidup harus terus berjalan. Di tengah kesedihan yang terus membayangi, kami sadar bahwa kami harus mencari cara untuk melanjutkan hidup, terutama demi masa depan Gian.

Warung soto milik Mas Figo yang dulu selalu ramai kini tertutup debu, tak ada lagi aroma soto yang menggugah selera, tak ada lagi tawa riang dari pelanggan setia. Warung itu adalah salah satu peninggalan paling berharga dari Mas Figo, dan aku tahu, membuka kembali warung itu adalah satu-satunya cara untuk menjaga semangatnya tetap hidup. Tapi kami juga tahu, ini bukan sekadar tentang mencari nafkah, melainkan tentang merajut kembali impian yang telah hancur.

Pada suatu pagi yang cerah, aku dan Mas Frodi berdiri di depan warung itu. Tangan Mas Frodi menggenggam kunci pintu tralis besi dengan erat, sementara aku merapikan apron yang dulu sering dikenakan Mbak Vita saat membantu melayani pelanggan. Pandangan kami saling bertemu, dan tanpa perlu kata-kata, kami tahu bahwa ini adalah langkah pertama kami untuk mencoba bangkit.

Ketika pintu warung terbuka, aroma khas kayu dan rempah-rempah yang sudah lama tertutup menyambut kami. Kenangan pun bermunculan, membuat hati ini sedikit berat. Dinding-dinding yang dulu memantulkan suara canda tawa dan obrolan hangat kini seolah berbisik tentang masa lalu yang tak akan pernah kembali.

“Mas, kita pasti bisa,” kataku, berusaha menguatkan hati yang masih rapuh. Mas Frodi tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan.

Selama beberapa hari berikutnya, kami membersihkan warung dengan penuh semangat. Kami menggosok meja-meja hingga bersih, menata kembali kursi-kursi, dan memastikan setiap sudut warung kembali rapi seperti sedia kala. Saat kami mengeluarkan peralatan masak dari lemari, perasaan seakan campur aduk—antara haru, rindu, dan tekad untuk melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh Mas Figo.

Pada hari pembukaan kembali, kami tak tahu apa yang harus diharapkan. Aku menatap panci besar yang berisi kuah soto yang mendidih perlahan, aromanya memenuhi udara, membangkitkan kenangan tentang resep rahasia yang dulu selalu dibanggakan Mas Figo. Sementara itu, Mas Frodi berdiri di balik meja kasir, terlihat sedikit canggung, tapi berusaha menampilkan senyum terbaiknya. Untuk saat ini hanya aku dan Mas Frodi yang membuka warung cabang pertama dengan bantuan resep soto yang sudah diracik oleh ibu dari rumah. Sedangkan cabang kedua masih dikelola oleh Mas Karno.

Seiring berjalannya waktu, pelanggan mulai berdatangan, beberapa di antaranya adalah wajah-wajah yang akrab, pelanggan setia yang dulu sering datang. Mereka menyambut kami dengan hangat, beberapa bahkan memberikan pelukan dan kata-kata penghiburan. Setiap mangkuk soto yang kami sajikan seolah menjadi perantara antara masa lalu dan masa kini, menghubungkan kami dengan kenangan akan Mas Figo, sambil membuka harapan baru untuk masa depan.

Gian, yang kini sudah mulai ceria kembali, juga ikut membantu dengan caranya sendiri. Meski masih kecil, dia senang bermain-main di sudut warung, terkadang membantu menyusun sendok dan garpu di atas meja. Senyum kecilnya yang perlahan kembali menjadi sumber kekuatan bagi kami semua, mengingatkan kami bahwa hidup terus berjalan dan ada harapan yang harus kami perjuangkan.

Siang itu, setelah warung tutup, aku dan Mas Frodi duduk di salah satu meja, menikmati sisa-sisa kehangatan dari hari yang panjang. Warung terasa hidup kembali, meski dengan dinamika yang berbeda. Kami tahu bahwa ini baru permulaan, dan perjalanan ke depan masih panjang. Tapi dengan tekad yang kuat dan kenangan akan Mas Figo yang selalu menyertai, kami yakin bisa melewati semua ini.

Ketika semua sudut warung dibersihkan dan pintu dikunci, aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam diriku. Mungkin, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, aku merasa kami benar-benar mulai melangkah maju. Meski kehilangan itu tetap ada, kami belajar untuk hidup dengan luka itu, dan mungkin suatu hari nanti, luka itu akan berubah menjadi kekuatan yang membawa kami pada kehidupan yang lebih baik.

***

Minggu pertama setelah pembukaan kembali warung soto berjalan seperti mimpi yang perlahan menjadi kenyataan. Setiap harinya, sebelum matahari terbit, kesibukan sudah dimulai. Panci besar berisi kuah soto yang harum mengepul di dapur, menebarkan aroma menggoda yang mengundang orang-orang untuk singgah. Pengunjung datang silih berganti, memenuhi meja-meja yang kami susun rapi. Dari wajah-wajah yang kembali ke warung, terlihat rasa rindu akan kenangan lama, namun ada juga harapan akan masa depan.

Lihat selengkapnya