Beberapa bulan telah berlalu sejak kami membuka kembali warung soto peninggalan Mas Figo. Kehidupan mulai menemukan ritmenya kembali, meski luka di hati tak pernah benar-benar hilang. Namun, di tengah upaya kami untuk bangkit, badai baru tampaknya mengancam dari arah yang tak terduga.
Malam itu, ketika aku sedang menjaga Gian yang tertidur di pangkuanku, sebuah pesan masuk ke ponsel ayah. Ekspresi wajahnya berubah saat membaca pesan tersebut, dan aku tahu, sesuatu yang serius telah terjadi.
"Dari siapa, Yah?" tanya ibu khawatir.
Ayah menghela napas berat, matanya menatap layar ponsel dengan keraguan. "Papanya Vita. Dia baru saja menghubungi. Dia bilang mau bicara soal asuransi."
"Asuransi? Maksudnya asuransi yang disiapkan Mas Figo dan Mbak Vita untuk Gian?" tanyaku, merasa jantungku berdebar tak menentu. Aku sepertinya tahu ke mana arah maksud Om Doni membahas ini ke ayahku.
Ayah mengangguk pelan. "Iya. Sepertinya dia ingin mengajukan klaim atas uang asuransi itu. Dia merasa berhak karena dia adalah papanya Vita."
Kata-kata ayah bagai palu yang menghantam perasaanku. Pikiran tentang Om Doni yang datang ke rumah sakit beberapa hari setelah kecelakaan dan pemakaman kala itu kembali terlintas. Saat itu, dia terlihat terpukul, tapi tak lama kemudian, dia menghilang tanpa jejak, seolah memutuskan hubungan dengan kami. Kini, tiba-tiba dia muncul lagi, bukan untuk Gian, tapi untuk uang yang seharusnya menjadi milik cucunya.
"Apa haknya?" kataku dengan nada kesal. "Asuransi itu jelas-jelas buat Gian. Mbak Vita dan Mas Figo udah nyiapain itu jauh-jauh hari. Aku ada kok, pas mereka lagi beresin berkas-berkasnya."
Ayah menatapku dengan sorot mata penuh kekhawatiran. "Itu yang harus kita bicarakan, Fi. Kita nggak bisa biarin dia ambil hak Gian. Tapi di sisi lain, kita juga nggak bisa sepenuhnya abaikan dia. Bagaimanapun, dia kakek dari Gian."
"Ayah benar, Fi. Ibu juga sependapat," kata ibu menambahkan.
Pikiranku kacau, campur aduk antara marah dan khawatir. "Tapi, Yah, Om Doni nggak pernah peduli soal Gian. Dia nggak pernah muncul lagi sejak kecelakaan itu. Dan sekarang dia mau uang asuransi? Ini nggak masuk akal."
Ayah terdiam, memikirkan kata-kata yang tepat. "Kita nggak tahu apa yang ada di pikirannya, Fi. Tapi satu hal yang pasti, kita harus siap menghadapi ini. Kita nggak bisa biarin hak Gian diambil begitu saja."
Diskusi kami terganggu oleh ketukan di pintu. Saat aku membuka, ternyata Pak Danu, pengacara yang pernah membantu kami dalam mengurus klaim asuransi setelah kecelakaan, berdiri di sana.
"Pak Danu, apa kabar?" sapa ayah mencoba tersenyum.
"Kabar baik, Pak Farhan. Tapi sepertinya kalian perlu duduk dan mendengar sesuatu," jawab Pak Danu dengan nada serius.
Kami semua duduk di ruang tamu. Gian masih tertidur dengan tenang di pangkuanku, tidak sadar akan ketegangan yang menggantung di udara.
"Saya baru saja menerima surat dari Pak Doni," kata Pak Danu membuka percakapan. "Dia ingin mengklaim uang asuransi yang telah disiapkan Alm saudara Figo dan saudari Vita untuk Gian. Surat itu diajukan ke pihak asuransi, dan dia menyatakan bahwa sebagai kakek dari pihak ibu, dia berhak atas sebagian besar dana tersebut."