Beberapa bulan telah berlalu sejak tragedi itu mengguncang hidup kami. Meski kami berusaha keras untuk melanjutkan hidup dan meraih kemajuan, kerinduan atas Mas Figo dan Mbak Vita tetap mengisi ruang kosong dalam hati kami. Ada hari-hari di mana kesibukan dan rutinitas berhasil mengalihkan perhatian kami, namun di malam-malam sunyi, rasa kehilangan itu muncul kembali dengan kuat.
Aku sering kali terjaga di tengah malam, duduk di depan meja belajarku yang penuh dengan dokumen dan catatan tentang usaha soto online. Meskipun lampu kamar menyala, suasana sekitar terasa begitu sepi tanpa kehadiran Mas Figo dan Mbak Vita. Aku selalu teringat akan keceriaan mereka saat mengelola warung, tawa hangat mereka, dan cara mereka saling berinteraksi. Itu adalah momen-momen yang kini hanya tersisa dalam kenangan.
Kadang, saat berada di dapur warung, aku bisa merasakan kehadiran mereka. Aroma soto yang tercium sering kali mengingatkanku pada masa-masa ketika kami berkumpul sebagai keluarga. Aku membayangkan Mas Figo berdiri di sudut dapur, memantau setiap langkah, sementara Mbak Vita dengan lembut menyajikan hidangan kepada pelanggan setia. Semua kenangan itu terasa seperti film yang terus diputar dalam pikiranku.
Satu sore, aku memutuskan untuk duduk di halaman depan rumah. Udara malam yang sejuk dan tenang memberikan kesempatan untuk merenung. Di sampingku, Gian yang sedang bermain dengan mainan barunya dari kejutan yang kuberikan, sesekali menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Aku tersenyum padanya, mencoba menyembunyikan rasa sedih yang menghampiri hatiku.
“Gian ... sayangnya Pia,” kataku lembut sambil membelai kepala Gian.
Gian hanya tersenyum dan melanjutkan permainannya, mungkin tidak sepenuhnya memahami apa yang aku rasakan. Namun, aku tahu dia merasakan cinta dan dukungan dari kami. Itu adalah cara kami menjaga kenangan Mas Figo dan Mbak Vita tetap hidup, melalui perhatian dan kasih sayang yang kami berikan kepada Gian.
Saat matahari mulai terbenam, aku melangkah ke arah ruang keluarga, di mana aku menemukan foto Mas Figo dan Mbak Vita yang diletakkan di meja. Aku duduk di depan foto mereka, mencoba merasakan kehadiran mereka meski hanya dalam bentuk gambar. Aku meraih sebuah buku catatan yang berisi rencana-rencana usaha dan catatan harian tentang perjalanan kami.
“Aku kangen sama kalian,” kataku pada foto itu. “Kalian selalu jadi inspirasi buatku. Aku berharap kalian tau betapa kerasnya kami berusaha untuk menjaga warisan kalian dan memberikan yang terbaik untuk Gian.”
Saat aku semakin terhanyut, matahari sepenuhnya tenggelam, menyisakan cahaya lampu kamar yang lembut. Aku mengingat setiap momen yang telah kami lalui—kesulitan, keberhasilan, dan perjalanan panjang yang penuh liku. Rasa kerinduan ini adalah bagian dari proses penyembuhan, mengingatkan kami bahwa meskipun mereka telah tiada, cinta mereka tetap membimbing langkah kami.
Di malam itu, aku merasa lebih tenang setelah berbicara dengan gambar-gambar mereka. Aku tahu bahwa meskipun mereka tidak lagi secara fisik bersama kami, semangat dan nilai-nilai yang mereka wariskan terus hidup dalam setiap tindakan kami. Melalui setiap mangkuk soto yang kami sajikan, setiap keputusan bisnis yang kami ambil, dan setiap tawa yang kami bagi, kami memastikan bahwa mereka selalu hadir dalam hidup kami.
Keesokan harinya, aku kembali bangkit dengan semangat baru. Aku menghabiskan waktu dengan Mas Frodi, merencanakan strategi untuk cabang baru dan usaha soto online. Kami berdua sepakat untuk terus maju dan memastikan bahwa segala usaha kami menjadi penghormatan yang layak bagi Mas Figo dan Mbak Vita.