Satu tahun telah berlalu sejak kehilangan yang mengguncang keluarga kami. Di balik semua pencapaian yang telah kami raih, mulai dari restoran yang kini ramai pengunjung hingga rumah baru yang nyaman untuk Gian, ada bayangan gelap yang perlahan menyelimuti hidup kami. Awalnya, semua terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan—usaha keras kami akhirnya membuahkan hasil, dan Gian tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta. Namun, kehidupan tidak pernah sepenuhnya bebas dari ujian. Di tengah-tengah kebahagiaan ini, masalah-masalah baru mulai muncul, seolah mencoba meruntuhkan fondasi yang telah kami bangun dengan susah payah.
Masalah pertama datang tanpa kami duga. Ayah dan ibu masih mengelola kios di pasar yang telah menjadi bagian dari kehidupan kami selama bertahun-tahun. Kios itu adalah sumber penghasilan yang tak pernah kami anggap remeh, bahkan ketika restoran baru mulai berhasil menarik banyak pelanggan. Seiring dengan keberhasilan restoran, kios kami di pasar pun semakin ramai, menarik perhatian lebih banyak pelanggan yang setia pada cita rasa khas yang telah diwariskan turun-temurun.
Namun, keberhasilan ini juga menarik perhatian yang tidak diinginkan. Beberapa pedagang di kios sebelah mulai memperhatikan perubahan yang terjadi pada kios kami. Mereka, yang dulunya bertegur sapa ramah, kini mulai memperlihatkan sikap yang berbeda. Aku dan ibu sering mendengar mereka berbisik-bisik saat kami lewat. Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan, menganggap itu hanya obrolan biasa. Tetapi, semakin lama, bisikan itu menjadi lebih keras, lebih tajam, dan lebih sulit diabaikan.
“Apa kalian dengar? Keluarga Pak Farhan itu mendadak kaya sejak anak-anak mereka meninggal.” Salah satu pedagang berbisik dengan nada penuh prasangka saat ibu sedang melayani pelanggan. “Mungkin mereka memang sengaja—kalian tahu maksudku, kan? Menumbalkan anak dan menantunya untuk kesuksesan.”
Ibu, yang selalu tampil kuat di depan orang lain, mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan yang tidak biasa. Setiap kali kami pulang dari pasar, aku melihat wajahnya yang menunduk, seolah-olah ada beban yang tidak terlihat menekan bahunya. Tatapan matanya kosong, penuh dengan pikiran-pikiran yang tak terucapkan. Aku tahu bahwa gosip ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga menyentuh harga dirinya sebagai seorang ibu yang telah berjuang sekuat tenaga untuk keluarga.
Suatu hari, saat ayah dan ibu sedang bersiap-siap untuk membuka kios, ibu tiba-tiba berkata dengan suara pelan, hampir seperti berbisik.
“Yah, kamu denger kan apa yang mereka bilang tentang kita?”
Ayah terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa. Ayah hanya mengangguk pelan, mencoba memahami perasaan ibu.
“Ibu tahu ini hanya omongan orang yang ndakk ngerti apa-apa,” lanjutnya, matanya menatap lurus ke depan, tetapi ada kilatan kesedihan yang tak bisa disembunyikan. “Tapi ibu nggak bisa bohong, Yah. Omongan-omongan itu menyakitkan.”