Malam itu, suasana di rumah terasa tenang. Kami baru saja selesai makan malam, dan sekarang sedang duduk bersama di ruang tamu. Ayah dan ibu menikmati secangkir teh, sementara aku menemani Gian bermain dengan mainan barunya. Sesekali, kami semua tertawa melihat tingkah laku Gian yang begitu menggemaskan. Rasanya, momen-momen seperti ini memberikan sedikit pelipur lara dari semua kesedihan yang kami alami selama setahun terakhir.
Namun, keheningan itu segera terganggu ketika bel pintu berbunyi. Aku sedikit terkejut karena tidak mengharapkan tamu di malam seperti ini. Gian yang sedang asyik bermain pun ikut berhenti sejenak, matanya yang kecil menatapku dengan penasaran.
“Sebentar, ya,” kataku sambil bangkit berdiri. Aku berjalan menuju pintu, dengan hati yang sedikit berdebar karena tidak tahu siapa yang datang.
Ketika pintu terbuka, aku melihat sosok yang tak terduga. “Om Doni?” tanyaku terkejut, menatap wajah tua yang berdiri di hadapanku. Wajahnya tampak lelah, dengan kerutan yang semakin dalam di wajahnya. Ada sesuatu di matanya—sebuah campuran antara kesedihan, kelelahan, dan sesuatu yang membuatku merasa waspada.
“Iya, ini Om Doni. Boleh masuk, kan?” tanyanya dengan nada yang terdengar ramah, namun ada sesuatu yang terasa memaksa dalam suaranya. Aku tidak punya pilihan selain mempersilakannya masuk, meski hatiku dipenuhi berbagai pertanyaan.
Om Doni melangkah masuk dengan langkah pelan namun mantap. Ayah dan ibu, yang sedang duduk sambil menikmati teh mereka, langsung berdiri ketika melihat tamu tak terduga itu. Wajah mereka menunjukkan campuran antara ketidaknyamanan dan rasa ingin tahu.
“Selamat malam, Pak Farhan, Bu Farida,” sapanya sambil mengangguk pelan. Ayah dan ibu membalas dengan anggukan dan senyuman yang sedikit dipaksakan, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di mata mereka.
“Malam, Pak Doni. Silakan duduk,” ujar ayah sambil menunjuk ke salah satu kursi di ruang tamu. Kami semua kemudian duduk di ruang tamu, dengan suasana yang tiba-tiba berubah menjadi lebih tegang. Gian, yang biasanya penuh semangat, sepertinya merasakan perubahan suasana dan mendekat padaku, memegang tanganku erat.
Persis seperti dugaanku. Om Doni hanya menyapa Gian singkat tanpa ingin berlama-lama . Atau setidaknya mencoba bermain bersama cucu satu-satunya ini. Om Doni beralih lagi ke ayah dan ibu di ruang tamu.
Obrolan awal berjalan dengan lancar, penuh dengan basa-basi tentang cuaca, kesehatan, dan hal-hal sepele lainnya. Om Doni bercerita tentang kesehariannya yang sepi sejak kepergian Mbak Vita, dan bagaimana dia merindukan cucunya, Gian. Kami semua mendengarkan dengan penuh perhatian, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih berat di balik kata-katanya.
Tak butuh waktu lama sebelum topik pembicaraan mulai bergeser ke arah yang lebih serius. Setelah beberapa saat hening, Om Doni menghela napas panjang dan mulai bicara dengan nada yang lebih berat.