Pagi itu, setelah malam yang penuh ketegangan, suasana rumah kami terasa lebih sunyi dari biasanya. Meskipun sinar matahari yang masuk melalui jendela memberikan kehangatan, bayang-bayang percakapan dengan Om Doni masih menyelimuti hati kami. Aku, ayah, dan ibu duduk di ruang makan setelah sarapan, tapi tidak ada yang benar-benar menikmati makanan mereka. Gian masih tidur di kamarnya, memberiku sedikit waktu untuk memikirkan apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Aku sengaja datang ke warung lebih siang dan ayah yang menyerahkan kios ke pegawainya agar kami bisa membicarakan sesuatu yang penting pagi ini.
Ayah menghela napas panjang, meletakkan cangkir kopinya yang sudah setengah kosong. "Ayah sudah berpikir semalaman," katanya dengan nada tenang, tapi ada kelelahan yang jelas terlihat di wajahnya. “Setelah mempertimbangkan semuanya, ayah rasa kita perlu mengambil langkah lain daripada membawa masalah ini ke jalur hukum.”
Aku, yang sejak tadi menahan diri, tak bisa lagi menyembunyikan rasa frustrasiku. “Tapi, Yah, Om Doni jelas-jelas ingin mengambil sesuatu yang bukan haknya! Kalau kita biarkan, dia akan terus menuntut dan tidak akan pernah berhenti!” Suaraku sedikit meninggi, mencerminkan amarah dan ketidakadilan yang kurasakan.
Ayah menatapku dengan tatapan penuh pengertian, tetapi juga kekhawatiran. “Ayah mengerti perasaan kamu, Fi. Tapi kita harus berpikir jangka panjang. Proses hukum itu bisa menguras banyak waktu dan energi kita. Kita sudah terlalu lelah setelah semua yang terjadi selama setahun terakhir. Ayah tidak ingin kita terjebak dalam konflik berkepanjangan yang bisa memecah belah keluarga ini lebih jauh.”
Mendengar kata-kata ayah, amarahku tak langsung mereda. Sebaliknya, aku merasa semakin tertekan oleh ketidakadilan situasi ini. Bagaimana mungkin ayah bisa bersikap begitu lunak terhadap seseorang yang jelas-jelas mencoba merampas masa depan Gian? Tanpa berpikir panjang, aku berdiri dan bergegas keluar dari rumah, meninggalkan ibu dan ayah dalam kebisuan.
Aku berjalan tanpa tujuan di sekitar kompleks perumahan, mencoba mencari udara segar yang mungkin bisa meringankan beban di dadaku. Tapi pikiran tentang Om Doni, tentang betapa tak adilnya dunia ini, terus menghantui langkahku. Bagaimana bisa seseorang yang seharusnya menjadi keluarga, menjadi orang yang justru ingin merusak apa yang telah susah payah kami bangun untuk Gian?
Setelah beberapa waktu berjalan, aku menemukan diriku duduk di sebuah taman kecil yang tidak jauh dari rumah. Pohon-pohon rindang di sekitarku memberikan sedikit ketenangan, meskipun di dalam hatiku, badai masih terus berkecamuk. Aku memejamkan mata, mencoba untuk meredakan emosi yang bergolak, tapi bayangan wajah Om Doni terus muncul di benakku.
Akhirnya, setelah merasa sedikit lebih tenang, aku memutuskan untuk pulang. Di rumah, ibu sudah menungguku di ruang tamu. Dia tidak mengatakan apapun saat aku masuk, hanya memberiku senyum lembut yang penuh pengertian. Aku duduk di sampingnya, menundukkan kepala, merasa bersalah karena telah meninggikan suara pada ayah tadi.