Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah alam ikut merasakan beban di hati kami. Meskipun matahari baru saja terbit, memberikan kehangatan yang lembut melalui jendela, suasana rumah kami terasa berat dan penuh dengan keheningan yang sulit diuraikan. Tiga tahun telah berlalu sejak kecelakaan yang merenggut nyawa Mas Figo dan Mbak Vita, namun rasanya seperti baru kemarin kami kehilangan mereka.
Hari ini, seperti dua tahun sebelumnya, kami akan mengunjungi makam mereka untuk memperingati hari kepergian mereka. Ayah, ibu, Mas Frodi, aku, dan Gian bersiap dengan suasana hati yang penuh duka. Setiap langkah kami terasa lambat dan penuh beban, seakan-akan setiap anggota keluarga merasakan hal yang sama—kesedihan yang tak kunjung hilang meski waktu terus berjalan.
Gian, yang kini sudah berusia tiga tahun, tampak kebingungan dengan suasana yang menyelimuti kami. Dia menggenggam tangan ibu dengan erat, matanya yang besar dan polos memandang kami satu per satu, seolah mencari penjelasan mengapa semua orang tampak begitu sedih. Meski dia belum benar-benar memahami apa yang terjadi, aku bisa melihat ada rasa tidak nyaman di wajahnya yang kecil dan polos.
Kami berangkat menuju pemakaman dalam keheningan, masing-masing tenggelam dalam pikiran dan perasaan kami sendiri. Mobil melaju perlahan di jalan yang sepi, membawa kami ke tempat di mana dua orang yang sangat kami cintai telah beristirahat untuk selamanya. Sesampainya di sana, kami turun satu per satu, menapaki jalan setapak yang sudah begitu akrab bagi kami.
Makam Mas Figo dan Mbak Vita terletak berdampingan, di bawah naungan pohon besar yang rindang. Tempat itu seolah menjadi saksi bisu dari segala doa dan air mata yang telah kami curahkan selama tiga tahun terakhir. Setiap kali kami datang ke sini, perasaan yang sama kembali menghantui—perasaan kehilangan yang begitu mendalam, seolah ada bagian dari diri kami yang hilang dan tak pernah bisa kembali.
Ayah, dengan langkah yang tenang namun berat, memulai doa untuk Mas Figo dan Mbak Vita. Suaranya terdengar serak, mungkin karena emosi yang masih belum sepenuhnya tertata. Kami semua ikut menundukkan kepala, meresapi setiap kata yang diucapkan ayah, berharap bahwa doa-doa ini bisa sampai kepada mereka yang telah pergi. Gian berdiri di samping ibu, menatap makam dengan tatapan kosong, belum memahami apa arti semua ini.