Setelah tiga tahun berlalu, banyak hal telah berubah dalam hidup kami. Ayah, yang dulunya hanya seorang pedagang kecil, kini berhasil membuka beberapa kios di dekat pasar. Kesuksesannya membawa kebanggaan bagi keluarga, namun juga memunculkan masalah baru berupa cibiran dari orang-orang sekitar.
Mas Frodi, yang dahulu hanya menjadikan musik sebagai hobi, sekarang telah membangun agensinya sendiri untuk band yang ia dirikan. Kesibukannya semakin meningkat, sering kali pulang larut malam atau bahkan tidak pulang sama sekali karena harus mengurus berbagai proyek musiknya. Sementara itu, aku baru saja membeli rumah baru yang letaknya persis di sebelah rumah Gian, sebuah pencapaian besar yang seharusnya membuatku bahagia. Namun, bukannya merasa puas, aku justru merasa beban pikiranku semakin bertambah karena gosip yang semakin merajalela.
Membeli rumah mewah tersebut bukanlah sesuatu yang aku dapatkan dengan mudah. Aku bekerja keras, mengorbankan banyak waktu dan tenaga demi mencapainya. Tapi orang-orang di sekitar tidak melihat itu. Mereka hanya melihat hasilnya, bukan prosesnya. Dan mereka mulai berbicara, menyebarkan desas-desus yang semakin lama semakin tak terkendali.
“Keluarga Pak Farhan itu pasti ada mainnya sama dukun.” Kudengar seorang tetangga berbisik di belakang rumahku suatu pagi. “Nggak mungkin tiba-tiba kaya raya kayak gitu. Semua usahanya sukses, nggak masuk akal.”
Mendengar itu rasanya seperti ada pisau yang langsung menusuk hatiku. Apa yang mereka tahu tentang perjuangan kami? Apa mereka tahu betapa kerasnya ayah bekerja, betapa banyak waktu dan usaha yang telah kami curahkan untuk mencapai semua ini?
Gosip itu tidak berhenti di situ. Semakin hari, semakin banyak orang yang percaya dan menyebarkan desas-desus tersebut. Mereka menuding bahwa kekayaan keluarga kami adalah hasil dari ilmu hitam, dari praktik-praktik yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat. Aku semakin tertekan, tenggelam dalam lautan kebencian dan ketidakadilan yang terus menghantui pikiranku.
Hari-hari terasa begitu berat. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti berjalan di atas duri. Aku tidak bisa tidur nyenyak, tidak bisa makan dengan tenang, dan setiap kali aku melangkah keluar rumah, rasanya seperti ada ribuan pasang mata yang menatap penuh curiga.
Aku berusaha mencari pelarian dari semua tekanan ini. Semuanya sudah kucoba lakukan. Menyibukkan diri di restoran, melakukan pemasaran langsung untuk toko online, sampai beberapa hari kemarin aku ikut terjun langsung ke catering pesanan acara pernikahan. Namun, tetap saja aku tidak bisa mengalihkan pikiranku dari masalah yang kuanggap tak ada jalan keluarnya. Terlalu sesak rasanya.