Memasuki tahun keempat setelah kepergian Mas Figo dan Mbak Vita, semakin banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan kami. Warung soto kami sangat berkembang pesat melebihi sebelumnya. Tak hanya satu, tapi dua restoran baru telah kami bangun di lokasi strategis yang berbeda. Restoran pertama terletak di pusat kota, dekat dengan area perkantoran yang padat, sementara restoran kedua berdiri di kawasan wisata yang ramai dikunjungi turis lokal dan mancanegara. Kehadiran kedua restoran ini menjadi bukti nyata betapa jauh kami telah melangkah.
Kesuksesan ini tentunya tidak datang tanpa usaha keras. Ayah, meski usianya tidak lagi muda, tetap bersemangat. Ia selalu bangun lebih awal daripada siapa pun, mempersiapkan bahan-bahan segar yang akan digunakan di restoran. Meski tubuhnya mulai renta, semangatnya tak pernah pudar. Ibu, yang selalu menjadi jantung dapur kami, masih sibuk memastikan setiap hidangan memiliki cita rasa yang sama seperti saat pertama kali kami memulai usaha ini. Tak pernah ada kompromi soal kualitas. Setiap mangkuk soto yang keluar dari dapur ibu selalu penuh dengan cinta dan dedikasi.
Sementara itu, Mas Frodi yang dulu lebih sering tenggelam dalam dunianya sendiri, kini ikut andil dalam kesuksesan keluarga. Meskipun agensi band yang ia bangun juga semakin berkembang, dengan berbagai proyek yang menyita waktunya, Mas Frodi selalu menyempatkan diri untuk membantu promosi restoran kami. Ia yang membawa ide-ide segar untuk memodernisasi pemasaran warung soto, termasuk membuat akun media sosial restoran yang kini memiliki ribuan pengikut. Tidak jarang, pelanggan baru datang hanya karena melihat postingan Mas Frodi di Instagram atau Facebook.
Namun, di balik semua pencapaian ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kami masih menghadapi masalah yang sama—gosip buruk yang tak kunjung reda. Orang-orang di sekitar kami masih terus berbisik-bisik, menyebarkan kabar tak berdasar bahwa kesuksesan kami didapat melalui cara-cara yang tak masuk akal.
"Keluarga Pak Farhan itu pasti pakai pesugihan. Coba lihat, tiba-tiba saja mereka bisa buka restoran mewah." Itulah yang sering kali kudengar setiap kali melewati warung atau toko di sekitar rumah. Hanya salah satu dari sekian gosip jahat yang pernah kudengar.
Setiap kata itu bagai duri yang menusuk jantungku. Apa mereka tahu betapa kerasnya kami bekerja? Apa mereka melihat bagaimana ayah, dengan tangannya yang mulai bergetar karena usia, masih tetap memotong sayuran setiap pagi? Apa mereka tahu berapa banyak waktu yang kuhabiskan mengelola pesanan online, memastikan setiap pelanggan puas dengan layanan kami? Tidak. Mereka hanya melihat hasilnya—rumah baru, mobil baru, restoran yang selalu penuh. Mereka tidak pernah melihat proses panjang dan melelahkan yang harus kami lalui untuk sampai ke titik ini.