Tahun kelima setelah kepergian Mas Figo dan Mbak Vita terasa seperti babak baru dalam hidup kami, namun tetap diselimuti oleh perasaan yang sama: kerinduan yang tak berujung. Setiap tahun, hidup kami terus berjalan, membawa perubahan besar dalam segala aspek. Restoran keluarga kami semakin berkembang, bahkan kini menjadi salah satu tempat kuliner yang cukup dikenal di kota. Tapi seiring waktu, ada hal-hal lain yang berkembang, yang justru memperdalam rasa kehilangan di dalam hati kami—terutama di hatiku.
Gian kini sudah berusia lima tahun. Dia tumbuh menjadi anak yang sangat cerdas dan ceria, selalu penuh energi dan rasa ingin tahu. Aku sering kali terkejut melihat betapa cepat dia bisa mempelajari hal-hal baru. Kini dia sudah mulai masuk sekolah TK, belajar menulis, menghitung, bahkan sesekali menyusun cerita pendek dengan caranya yang polos. Senyumnya selalu mengingatkanku pada Mas Figo, seperti cerminan dari apa yang pernah ada di masa lalu.
Namun, seiring Gian tumbuh semakin dewasa, kesadaran akan apa yang terjadi pada mama dan papanya juga ikut tumbuh di dalam dirinya. Meskipun dia belum sepenuhnya memahami konsep kehilangan, Gian sudah mulai bertanya, "Di mana Mama dan Papa? Kenapa mereka tidak pernah menjemputku di sekolah?" Setiap kali pertanyaan itu muncul, hatiku terasa remuk, seolah ada beban yang terlalu berat untuk ditanggung.
Yang paling menyedihkan adalah ketika Gian meminta untuk diantar dan dijemput oleh mama dan papanya. Pernah suatu hari, aku sedang bersiap-siap mengantarnya ke sekolah ketika dia memandangku dengan mata penuh harapan dan bertanya, “Kapan Mama sama Papa jemput Gian? Gian pengin banget diantar sama mereka.”
Aku terdiam, menahan napas sejenak agar air mata tidak jatuh di depan Gian. Hanya kata-kata sederhana dari seorang anak, tapi maknanya begitu dalam bagiku. Sejak itu, setiap pagi rasanya seperti ritual pengingat akan kenyataan yang menyakitkan—bahwa Gian tidak akan pernah lagi merasakan kehadiran orang tuanya secara langsung. Aku hanya bisa tersenyum tipis dan mengatakan, “Suatu hari nanti, Gian akan bertemu dengan Mama dan Papa di tempat yang indah.” Meskipun hatiku terasa seperti dirajam.
Kembali ke tahun sebelumnya, aku teringat ulang tahunku yang terasa seperti perjalanan emosi yang begitu liar. Saat itu, Mas Frodi berusaha membuatku bahagia dengan memberikan kejutan. Aku tidak menyangka bahwa dia merencanakan pesta kecil untukku di restoran kami. Semua orang sudah berkumpul, dari karyawan hingga beberapa teman dekat. Gian pun ada di sana, dengan senyum lebar di wajahnya. Mereka semua menyanyikan lagu ulang tahun saat aku tiba di tempat itu, dan Mas Frodi muncul dengan kue ulang tahun di tangannya. Semua terasa begitu indah dan penuh cinta.
Namun, alih-alih merasakan kebahagiaan, aku tiba-tiba merasa terhimpit oleh perasaan yang tak bisa kutahan. Kenangan tentang Mas Figo dan Mbak Vita menyeruak begitu kuat di pikiranku, terutama karena kecelakaan yang merenggut nyawa mereka terjadi tepat di hari ulang tahunku, lima tahun lalu. Wajah-wajah di sekitarku berubah kabur, air mataku mulai mengalir tanpa bisa kuhentikan.