Berbulan-bulan berlalu, dan meskipun kehidupan tampak terus berjalan, aku mulai merasa semakin tersesat dalam perasaanku sendiri. Setiap hari kulalui dengan senyum di wajahku, terutama ketika berada di sekitar Gian atau keluargaku. Namun, di dalam diriku, ada badai yang terus bergejolak—rasa sedih, cemas, marah, dan lelah yang datang dan pergi tanpa aba-aba. Malam-malamku semakin penuh dengan tangisan diam-diam, sementara siang hari terasa seperti aku hanya menjalani hidup tanpa arah yang jelas.
Semua ini sudah berlangsung begitu lama sejak kecelakaan itu, sejak kepergian Mas Figo dan Mbak Vita. Terkadang aku merasa diriku sudah beradaptasi, sudah menerima kenyataan. Namun, di momen-momen tertentu, perasaan itu kembali menyerangku dengan begitu kuat, membuatku terhimpit di antara kenangan dan tanggung jawab yang semakin berat. Di satu sisi, aku tahu harus kuat untuk Gian. Dia membutuhkan figur yang bisa diandalkan, dan aku mencoba sekuat tenaga menjadi sosok itu. Tapi di sisi lain, ada perasaan takut yang menggerogoti, bahwa aku mulai kehilangan diriku dalam prosesnya.
Setiap kali aku berpikir untuk menemui psikolog, ada perasaan ragu yang muncul. Mungkin ini hanya fase. Mungkin aku hanya butuh waktu. Mungkin aku harus lebih bersyukur dan menguatkan diri. Tapi semakin hari, perasaan ini semakin tak tertahankan. Ada rasa bersalah yang terus menghantuiku. Mengapa aku tidak bisa mengatasi ini sendirian? Aku terus bertanya-tanya, takut untuk menghadapi kenyataan bahwa mungkin aku membutuhkan bantuan.
Dan kemudian, kejadian itu terjadi—satu peristiwa yang mengubah segalanya.
Hari itu, seperti biasa, aku sedang menyiapkan sarapan untuk Gian sebelum dia berangkat ke sekolah. Gian tampak lebih pendiam dari biasanya. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggunya, tapi aku berpikir mungkin dia hanya lelah. Saat aku mendekatinya dan menanyakan apa yang salah, dia memandangku dengan mata penuh kerinduan dan kesedihan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Tante,” katanya pelan, suaranya gemetar, “kenapa Mama dan Papa nggak pernah jemput aku di sekolah? Kenapa mereka nggak datang?”
Jantungku seolah berhenti berdetak. Gian sudah menanyakan hal ini beberapa kali sebelumnya, tapi kali ini rasanya berbeda. Ada ketegangan di suaranya, ada perasaan yang tak bisa dia ungkapkan. Aku menarik napas panjang, berjongkok di hadapannya, mencoba berbicara selembut mungkin.
“Gian, sayang, Mama dan Papa sekarang udah ada di tempat yang sangaaaat indah. Mereka nggak bisa jemput kamu lagi, tapi Tante selalu ada di sini buat Gian.”