Pada sesi pertemuan kedua dengan psikolog, aku merasa lebih tenang. Rasanya seperti langkah pertama telah kuambil, dan kini aku berada di tempat yang aman untuk berbicara. Psikolog itu, seorang wanita berusia pertengahan empat puluhan dengan senyum lembut dan tatapan penuh pengertian, duduk di depanku. Suasana ruangan terasa lebih akrab kali ini, meski perasaan berat masih menyelimuti hatiku.
"Bagaimana kabar kamu hari ini?" tanya psikolog itu sambil menatapku dengan lembut.
Aku menarik napas, berpikir sejenak sebelum menjawab. “Lebih baik, mungkin, setelah pertemuan terakhir. Rasanya seperti aku sedikit lebih bisa mengendalikan perasaan, tapi… masih banyak yang belum selesai."
"Masih banyak yang belum selesai?” Dia mengulangi, mendorongku untuk melanjutkan.
Aku mengangguk. "Ya. Kayak perasaan kehilangan ini ... aku enggak tahu kapan itu akan benar-benar hilang. Kadang aku ngerasa baik-baik saja, tapi ada saat-saat ketika semua kembali, menghantamku dengan keras. Dan Gian, dia... dia sering ingetin aku Mas Figo dan Mbak Vita."
Psikolog itu mengangguk dengan penuh pemahaman. "Kamu sangat merindukan mereka, ya?"
“Ya, sangat,” jawabku pelan. "Kadang, aku cuma mau waktu bisa kembali ke masa-masa ketika mereka masih hidup. Segalanya terasa lebih mudah saat itu, lebih bahagia. Aku sering mikirin momen-momen kecil, seperti saat kami semua berkumpul buat makan malam atau bercanda tentang hal-hal sepele. Tapi sekarang … rasanya seolah semua itu terlalu jauh untuk dijangkau."
Dia menatapku, memberikan ruang untuk melanjutkan. "Coba ceritakan sedikit tentang mereka. Seperti apa masa-masa itu?"
Aku tersenyum kecil, meski air mata terasa menggenang di pelupuk mata. "Masa-masa itu sangat indah. Mas Figo dan Mbak Vita ... mereka adalah orang yang begitu penuh cinta. Mas Figo adalah tipe kakak yang selalu ada untuk kami semua. Dia selalu punya waktu untuk mendengarkan, selalu tahu kapan aku butuh bicara dan kapan aku hanya butuh ditemani tanpa kata-kata."