Hari Selepas Kepergian Mereka

Rika Kurnia
Chapter #35

Dalam Dekapan Keluarga

"Frisia!"

Panggilan itu terus terdengar di kejauhan, menggema di antara riak air yang perlahan menyelubungi tubuhku. Suaranya semakin mendekat, tetapi terasa jauh, seolah aku sedang berada di dunia lain yang tak tersentuh oleh siapa pun. Suara itu seakan berasal dari dunia yang telah lama kutinggalkan. Tubuhku terasa ringan, melayang tanpa beban, sementara bayangan kenangan, wajah-wajah yang begitu kukenal, perlahan memudar dari pandanganku. Waktu seakan berhenti, dan segalanya perlahan menjauh.

Namun, tiba-tiba, ada sesuatu yang keras menahan tubuhku. Tanganku, yang tadi melayang bebas, kini disentuh oleh kekuatan yang entah dari mana datangnya. Perlahan tapi pasti, tubuhku terasa bergerak, keluar dari air dingin yang mulai terasa menusuk hingga ke tulang. Sesuatu yang kuat menarikku ke permukaan. Lalu, yang kurasakan hanya hembusan udara dingin yang menyapu wajahku.

"Frisia!" Suara itu mengguncangku, kali ini lebih jelas, lebih nyata.

Aku ingin membuka mata, ingin tahu siapa yang meneriakiku dengan panik, tapi tubuhku tak mau menurut. Semua terasa berat, seperti ada beban besar yang menahan. Suara itu semakin terdengar putus asa. Lalu, segalanya menghilang. Gelap.

Ketika akhirnya aku sadar, seluruh tubuhku terasa berat, seperti diikat oleh ribuan tali tak kasat mata. Udara di sekitarku terasa steril, bau antiseptik menusuk hidungku. Perlahan, kelopak mataku terbuka, dan cahaya putih dari langit-langit ruangan menyambutku, membuatku mengernyit.

Aku mencoba menggerakkan tubuhku, tapi rasanya seperti terperangkap dalam kepompong tebal. Pandanganku mulai terbiasa dengan cahaya, dan akhirnya, aku melihat mereka—keluargaku, berkumpul di sekeliling tempat tidur rumah sakit ini.

Ayah dan Ibu duduk di sisi ranjang, wajah mereka penuh dengan kecemasan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Mata Ibu sembab, seolah air mata baru saja mengering di pipinya. Gian berdiri di sudut, memegang boneka dinosaurus yang biasa dia bawa ke mana-mana, pandangannya terpaku pada lantai. Sementara itu, Mas Frodi berdiri tegak di dekat jendela, kedua tangannya terkepal, wajahnya merah padam menahan emosi yang terlihat siap meledak.

Perlahan, aku mencoba membuka mulutku untuk berkata sesuatu, tetapi suara serak yang keluar dari bibirku hanya terdengar seperti bisikan samar.

"Kenapa... aku di sini?" tanyaku lemah, bahkan aku sendiri nyaris tak mendengar suaraku.

Ayah menunduk, Ibu mulai terisak lagi, dan Gian diam saja, hanya menggenggam bonekanya lebih erat. Mas Frodi tiba-tiba menghampiri ranjangku dengan langkah berat, ekspresinya penuh kemarahan yang tersimpan selama berjam-jam. Dia menatapku dengan tatapan yang menusuk, membuat tubuhku yang lemah bergetar.

"Frisia, apa yang sebenarnya terjadi?!" Suaranya meninggi, penuh kekecewaan. "Kamu nggak mungkin tiba-tiba tenggelam di kolam renang! Kamu bisa berenang! Apa yang kamu lakukan?!" Teriakannya mengguncang seluruh ruangan. Aku bisa melihat Ibu berusaha menahan tangis, sementara Ayah memejamkan mata, mungkin menahan diri untuk tidak ikut marah.

Aku tidak bisa menjawab. Tenggorokanku tercekat. Yang bisa kulakukan hanya menatap wajah mereka, terutama Mas Frodi yang tampak paling terpukul. Dia menunggu jawabanku, tetapi tak ada satu kata pun yang mampu kuucapkan. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Perlahan tapi pasti, rasa dingin yang tadi kurasakan di kolam renang itu kembali menyelimutiku—bukan fisikku kali ini, tetapi hatiku.

Aku tak bisa lagi menahan tangis. Isakanku meledak begitu saja, memenuhi ruangan yang semula hening. Semua emosi yang selama ini kusimpan rapat, yang kututupi dengan senyuman palsu, akhirnya pecah begitu saja. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, tetapi air mataku tetap deras mengalir. Tangisku terdengar semakin keras, memenuhi setiap sudut ruangan. Satu per satu, anggota keluargaku mulai menangis bersamaku, seolah mereka semua sudah terlalu lama menahan kesedihan yang tak pernah diungkapkan.

Lihat selengkapnya