Bandung, 2023
Dewa termenung pagi itu, ia sudah tampak rapi dengan kemeja warna biru gelap dan celana hitam kain. Waktu masih menunjuk pukul delapan pagi, namun sepertinya ia sudah bersiap pergi ke tempat formal.
Wajahnya muram, seperti sedang bosan menahan rasa sabar. Namun kali ini bukan karena mikirin mantan. Melainkan sedang memikirkan kelangsungan hidupnya. Maklum, ia anak bungsu dari tujuh bersaudara. Dan kini, hanya ia seorang yang tinggal bersama orang tuanya yang hanya tinggal seorang ibu saja. Sedangkan, sang bapak telah berpulang sekitar setahun yang lalu.
Tentu saja, tanggung jawabnya sangatlah besar, untuk merawat ibunya yang kini mulai senja. Hatinya bersedih, tak bisa mempersembahkan kebahagiaan untuk sang ibu. Wajahnya mulai temaram, antara lelah dan berharap.
Dering ponsel memecah lamunannya, bergetar menggelitik. Segera ia rogoh dari saku celananya.
"Ya, ada apa?" jawabnya dengan malas.
"Wa, besok Sabtu malam kita ada job manggung, di acara nikahan orang. Acaranya gede Wa, jadi fee kita juga lumayan. Kamu bisa kan?" tutur Denis bersemangat. Denis adalah teman dekat Dewa sekaligus rekan satu band.
"Iya, bisa!" dijawab Dewa dengan singkat.
"Koq mletre gitu jawabnya sih bro? Awas kalo sampe nggak bisa, atau mainnya acak-acakan!" canda Denis di susul tawa rombengmya.
"Mana pernah aku main acak-acakan? Aku mah totalitas! Profesional tau!"
"Iya, iya percaya, Dewa gitu lhoh ... hahaha," Denis terbahak, ia sukses memancing emosi sahabatnya itu.
Sementara muka Dewa makin ditekuk kesal, ia melirik pada asbak di atas meja disampingnya. Alangkah girangnya ia saat melihat ada sebatang rokok di sana. Seperti menemukan emas saja. Itu pun sudah tak utuh lagi dan tampaknya ia pernah kelupaan menaruhnya di asbak yang masih penuh abu.
Segera ia sulut, dan menghisap dengan nikmatnya. Otaknya kembali segar dan mulai bisa dijalankan lagi setelah beberapa saat menggumpal tak jelas. Sejenak ia menikmati sebatang rokok. Bukan teh, kopi atau gorengan sebagai temannya. Melainkan pikiran-pikiran yang terus saja berkutat di otaknya.
Ia bukan mengeluh karena menanggung semua kebutuhan hidup sendirian. Tapi dia sudah lelah mencari pekerjaan, namun tak satupun pintu pekerjaan yang terbuka untuknya.
Sebenarnya, bukan baru kali ini ia mencari kerja. Hampir dua tahun sudah ia nganggur bukan tanpa usaha. Sudah berbagai usaha di lakukannya, tak terhitung lagi jumlah perusahaan yang ia datangi untuk memasukkan surat lamaran beserta curriculum vitae. Tapi rasanya aneh sekali, tak ada satupun yang merespon. Bahkan untuk diberi kesempatan untuk wawancara saja, tidak.
Ia mendesis pelan, sepelan sepoi angin yang berhembus pagi itu melewati teras rumahnya. Hingga sampailah pada hisapan terakhir, lalu menggerusnya kembali ke asbak. Ia mulai berdiri dan meraih helm diatas stang motor. Badannya kini sudah beralih duduk di atas motor bebeknya.