Pagi ini begitu cerah, matahari perlahan mulai merangkak naik. Sinarnya yang hangat berubah menjadi panas yang berkuasa.
Dewa sedang tidak berencana keluar rumah hari ini, kemanapun. Tampaknya, ia sedikit jenuh dan lelah untuk berkelana mencari kerja. Hari ini dan beberapa hari kedepan, ia putuskan untuk fokus menata olshopnya. Seraya menunggu jika ada panggilan kerja yang memintanya untuk wawancara.
Ia menarik sedikit kain gordyn hingga menutup setengah dari jendela. Agar sinar matahari tak begitu silau mengenai layar komputernya. Kemudian, ia kembali duduk tepat dihadapan layar cerah berdimensi 17 inci itu.
Ditemani alunan lagu-lagu milik almarhum Chrisye yang melegenda. Terputar di ponsel miliknya lewat si Utub.
Mengering sudah bunga di pelukan
Merpati putih berarak pulang
Terbang menerjang badai
Tinggi di awan
Menghilang di langit yang hitam
Selamat berpisah kenangan bercinta
Sampai kapankah jadinya
Aku harus menunggu
Hari bahagia seperti dulu
~ Merpati Putih ~
Lagu itu begitu menenangkan hati Dewa. Setenang jarum jam yang berdetak pelan namun pasti. Menandai adanya waktu yang berjalan selalu maju.
Tak seperti hidupnya, sepanjang ia hidup, baru kali ini ia merasakan benar-benar diposisi terendah. Bukannya maju, hidupnya justru mengalami kemunduran. Merosot tajam, entah dimulai sejak kapan dan apa penyebab pastinya sulit diketahui.
Terlebih saat sang bapak sakit stroke selama 18 bulan dan lebih banyak terbaring dirumah sakit. Sebagai anak, Dewa terus memperjuangkan kesembuhan beliau. Hingga tak peduli lagi berapa besar nilai materi yang ia upayakan. Beberapa barang dan perabot yang masih memiliki nilai terpaksa harus ia jual. Termasuk barang kesayangannya yang menjadi asetnya dalam berkarir, sebuah drum yang selalu ia pakai saat manggung.
Namun seberapa besar ia telah perjuangkan, dan seberapa lama medis menolongnya. Hanya kehendak Tuhan lah yang bisa menggariskannya. Sang bapak harus berpulang meninggalkan orang-orang tercinta. Tentu saja, betapa hancur dan terpukulnya Dewa. Kehilangan sosok laki-laki terbaik dalam hidupnya.
"Sekuat apapun kutahan, tetap saja menitik air di pelupuk mataku jika teringat bapak. Aku rindu, sangat rindu. Terlebih saat-saat berat seperti ini. Ingin rasanya aku mencurahkan keluhku padanya. Bercerita tentang kegelisahanku di samping kakinya saat ia terbaring. Hanya itu saja, mungkin bebanku akan terasa jauh lebih ringan. Karena aku tahu, tubuh bapak sudah cukup lelah. Biarkan sekarang aku yang menggantikan tugasnya di dunia ini. Sebagai anak, sudah selayaknya aku menjaga dan merawat ibu hingga akhir hayatnya."
"Saat hati rasanya sudah terhimpit, hingga susah rasanya aku bernafas. Bahkan terasa begitu panas yang mendera otakku. Ingin rasanya aku berteriak memanggilmu, Bapaaaaakk ... bantu aku dari surga!"
Dewa terhenyak, semua kembali ke alam nyata. Begitu sepi, tak ada bapak lagi di sini. Kemudian ia seka wajahnya yang telah basah karena tangisan kecil sesaat. Ia tersadar, ia bukan lagi laki-laki yang baru tumbuh dan suka bermanja saat bapak masih sehat.