HARMONI BERKASIH

Soelistiyani
Chapter #14

Seperti Habibie Dan Ainun

Waktu menunjuk hampir pukul sembilan pagi, Dewa duduk di kasurnya dengan menyandarkan punggungnya pada dinding kamarnya. Terlihat sedikit peluh yang tampak di wajahnya. Nafasnya pun sedikit tersengal akibat kelelahan setelah melakukan rutinitas pagi.

Mencuci piring, mencuci pakaian, menyapu, dan memasak adalah hal yang setiap pagi ia kerjakan setelah selesai sholat subuh. Ia kerjakan semuanya karena tak ingin sang ibu yang mengerjakan semua itu.

Kasihan ibu! Ibu sudah tidak kuat lagi mengerjakan pekerjaan rumah. Maka, akulah yang harus mengerti. Aku sayang ibu!

Walaupun ibu terlihat sehat, tapi aku tahu ada rasa sakit yang ibu sembunyikan. Apalagi, saat kulihat ibu terlihat kesusahan saat berjalan. Aku begitu sangat cemas, tak ingin ibu kenapa-napa. Dan, tak ingin kehilangan lagi orang tua satu-satunya.

Ibu adalah wanita yang solehah dan sangat religius. Meskipun ibu sudah senja dan kesulitan berjalan, tapi ibu tidak pernah sekalipun meninggalkan sholat lima waktu. Bahkan masih rajin mengikuti pengajian rutin dikampung meski dengan terhuyung. Aku sangat salut dengan ibu!

Ibu mengajarkanku disiplin dalam menjalankan ibadah. Teriakan ibu yang selalu membangunkan ku saat pagi untuk sholat subuh. "Bangun Wa, bangun! Sholat!" Begitulah cara ibu membangunkan ku sambil menggedor pintu kamarku. "Iya maah ... !" Lalu kujawab sambil terduduk dan beranjak bangun lima menit kemudian dengan mata terkantuk-kantuk.

Dan, teriakan ibu pula yang selalu melarangku tidur terlalu larut agar aku tidak bangun kesiangan hingga melewatkan sholat subuh. "Jam berapa ini belum tidur, hah?! Besok pagi sholat subuh jangan sampe telat!" Lagi-lagi kujawab, "iya maah ...!"

Terkadang, aku sering lupa waktu jika sudah asyik ngobrol dan bernyanyi bersama teman-temanku di Runsing. Bahkan terkadang, suaraku terlalu kencang saat bernyanyi di jam sepuluh malam. Hingga membuat ibu yang sudah terlelap tidur jadi terbangun. Alhasil, ibu teriak sambil memarahiku. Rasa ingin tertawa bercampur takut dibuatnya.

Demikian juga dengan bapak, bapak selalu membebaskanku untuk berkarir di musik asal jangan sampai menodai agama dan keluarga. Ibadah jangan pernah ditinggalkan. Pesan yang selalu kuindahkan sampai sekarang.

Ibu dan almarhum bapak, adalah sosok panutan dalam hidupku. Mereka memberikan contoh hidup yang luar biasa untuk anak-anaknya. Tanpa amarah, tanpa kekerasan. Tetapi dengan sikap yang bijak dan penuh kasih sayang.

Dulu, saat bapak masih ada dan sehat. Bapak sangat sayang dan setia pada ibu, begitu juga ibu. Kemana-mana selalu berdua. Bahkan ke pasar pun, bapak selalu setia mengantarkan ibu dengan berboncengan motor.

Bahkan diusia yang sudah mulai senja, mereka masih saling merawat dan melayani. Saat bapak sakit meskipun hanya masuk angin, ibu dengan setia ngerokin punggung bapak dan membuatkan bubur untuk bapak. Demikian juga sebaliknya, jika ibu sakit bapak tak kalah perhatian dan sangat khawatir tehadap ibu.

Mereka seperti Habibie dan Ainun, selalu rukun. Tak pernah aku melihat mereka bertengkar dan mendahulukan ego masing-masing. Bapak adalah pribadi yang penuh kesabaran, dan ibu adalah sosok yang lemah lembut namun tegas.

Hadiah terindah yang Allah berikan untuk kesetiaan mereka dan juga kesetiaan kepada Allah adalah, saat mereka diberi kesempatan untuk menjalankan rukun Islam yang kelima, yaitu berhaji. Berkali-kali aku menitikkan air mata atas Rahmat terindah itu. Meskipun aku tak tahu apakah kelak aku juga bisa ke sana, dan berhaji bersama orang yang kusayangi.

Tapi setidaknya, aku bersyukur bisa melihat orang tuaku bisa pergi ke tanah suci dan kembali ke tanah air dengan selamat serta mendapat sandangan Haji dan Hajah. Perasaan syukur yang tak terhingga meluap dari dalam hatiku.

Keharmonisan mereka hingga menyandang gelar kakek dan nenek membuatku sangat berbangga memiliki orang tua seperti mereka. Bahkan, aku sangat berharap kelak aku mendapatkan seorang istri yang memiliki pribadi seperti ibu. Dan menjalani biduk rumah tangga seperti yang aku lihat setiap hari di rumah ini. Penuh cinta dan kasih.

Tapi keinginan itu harus kusimpan entah sampai kapan. Di usiaku yang sekarang, aku masih cukup takut untuk berumah tangga. Jangankan menata hidup bersama anak gadis orang, menata hidupku sendiri saja aku belum mampu.

Aku belum siap dengan semua dalil-dalil pernikahan. Apalagi jika wanita yang kunikahi tidak mengerti dengan keadaan dan kondisiku. Belum lagi, caraku yang selalu mengutamakan ibu dalam hidupku. Pasti akan membuatnya tak bahagia. Jadi, lebih baik nanti dulu.

Membahagiakan ibu adalah prioritasku saat ini. Karena di dalam doa ibu, tersemat seperti apa masa depanku nantinya.

***

Lihat selengkapnya