HARMONI BERKASIH

Soelistiyani
Chapter #16

Masih Nihil

Pagi-pagi buta yang masih begitu dingin. Langit masih pekat, matahari akan hadir sekitar satu jam lagi. Tapi semangat Dewa sudah terbit sedari tadi.

Ia sudah mengemas produk hijab lumayan cukup banyak, untuk dimasukkan kedalam tas besar. Kemudian pergi mandi, dilanjut dengan sholat subuh.

Setelah beres semua, ia bersiap-siap untuk kembali berikhtiar menjemput rezeki. Tak lupa ia sempatkan menyeruput secangkir teh hangat yang sudah disiapkan oleh ibu di atas meja makan. Meja itu tampak kosong dan bersih, tak ada peneman untuk si teh hitam nan manis itu.

"Biarlah, yang penting masih ada teh ini untuk menghangatkan lambungku," pikirnya dalam hati seraya melambungkan rasa syukur. Hingga ia sisakan sedikit teh itu, lalu beranjak berdiri, dan berpamitan pada ibu.

"Mah, abdi berangkat dulu ya!" pamit Dewa pada ibunya.

"Iya Wa, hati-hati di jalan ya. Moga laris dagangannya, banyak yang beli."

"Amiin ... iya mah, makasih mah." Kemudian ia pun melangkah dengan tegas keluar rumah.

***

Tiap weekend, di alun-alun selalu ada pasar pagi yang ramai dikunjungi orang. Disana tumpah ruah, sumpek. Hampir tak bisa dibedakan mana pedagang, dan mana pembeli. Terlihat begitu menarik bagi orang yang gemar belanja. Warna-warni dan meriah. Tak cuma orang dewasa yang sering kalap dibuatnya. Anak-anak pun juga dibuat silap mata, karena tak sedikit yang berjualan mainan yang sungguh menarik.

Ada yang berjualan baju, aksesoris, mainan, hingga aneka jajanan semua ada, dan masih banyak lagi. Menjadi tempat hiburan sekaligus berbelanja bagi warga di sana. Juga menjadi wadah para pedagang untuk mencari rezeki dengan menjajakan dagangannya.

Seperti halnya Dewa, ia juga akan ikut menggelar lapak di sana pula. Menjajakan produk hijabnya dengan bermodalkan sekantung harapan. Ia sengaja datang lebih awal agar kebagian tempat untuk berjualan.

Beberapa model kerudung sudah tertata rapi. Pasar pun sudah mulai dibuka. Perlahan, pengunjung mulai berdatangan. Ada yang datang memang sengaja untuk berbelanja, ada pula yang sekedar mampir setelah melakukan olah raga pagi bersama keluarga. Karena memang tempat itu sudah ditetapkan menjadi car free day tiap weekend.

Namanya juga pasar, pasti ramai, riuh, berjubel dan saling desak. Tapi di situlah, tercipta akad bertransaksi yang pada akhirnya memperoleh kepuasan antara kedua belah pihak. Bagi penjual, tak cuma kecakapan dalam menawarkan barang yang dijual tetapi tak lepas dari keberuntungan. Beda penjual, beda pula rezeki nya. Semuanya sudah diatur oleh Sang Maha Rizki. Tak mungkin ada yang tertukar.

Beberapa jam berjalan dan sudah hampir siang, pengunjung mulai menyurut. Beberapa pedagang mulai membereskan dagangannya hendak dibawa pulang. Ada yang senang karena barang dagangannya laku banyak dan ada pula yang tampak sedih karena laku sedikit atau bahkan tidak ada yang beli sama sekali. Tapi bagi mereka sudah biasa dan sangat paham akan dinamikanya berjualan.

Tak terkecuali Dewa, karena baru pertama kali ini ia mencoba berjualan disana, jadi sepertinya ia belum beruntung. Karena hanya satu kerudung yang laku terjual. Kekecewaan lagi-lagi menggurat dengan jelas di wajahnya. Selalu saja usahanya tak membuahkan hasil.

Dengan rasa yang berat, ia pun segera pergi dari tempat itu, karena mendung mulai nampak. Hari ini tak seperti biasanya, padahal hari baru menjelang siang. Namun rasanya, semesta seakan segambar dengan hatinya. Gelap dan murung. Langit seolah siap memuntahkan jutaan kubik air ke bumi.

Lihat selengkapnya