HARMONI BERKASIH

Soelistiyani
Chapter #23

Di Ujung Sendu

The galaunisme has ben begun, again.

Seperti sudah terbiasa dengan hari-hari sepi, seperti yang lalu-lalu. Luisha kini makin tegar menjalaninya. Ia sadar, ia nggak boleh lagi cengeng. Sedih yang ia rasakan, belum seberapa dibanding kesedihan Dewa yang menumpuk-numpuk.

Kewajibannya hanyalah merapalkan ucapan syukur, bahwasanya hidupnya tak se nestapa Dewa. Meski tinggal di keluarga broken home, dan hanya memiliki satu orang tua saja. Namun Luisha tak pernah kehilangan kebahagiaannya.

Memiliki ibu yang masih sehat dan bisa bekerja mencari nafkah untuk mereka berdua adalah hal yang perlu ia syukuri. Tinggal di rumah yang nyaman, segala keperluan tercukupi membuat Luisha jarang merasa sedih.

Namun seetelah mengenal Dewa, ia merasa banyak pelajaran hidup yang ia dapatkan. Ia sering terseret arus kesedihan di sungainya Dewa, yang tak tahu kemana kan bermuara. Tak jelas ujungnya, entah berakhir bahagia atau sebaliknya. Setidaknya ia paham sekarang, bahwa ...

Tuhan nggak akan kenalkan kita dengan seseorang tanpa sebab. Everything must be a reason ...

Tentang satu misteri yang masih ia kulik tujuannya. Untuk apakah alasan Sang Maha Kasih mempertemukan dirinya dengan Dewa, meski hanya di jagat maya.

***

Hari berganti hari, minggu beralih ke minggu. Tak ada khabar dari sang pujaan hati. Jika ditanya, masih kuatkah memendam rindu? Jawabnya pasti, masih. Sebab mereka pernah melalui hal ini sebelumnya.

Namun, kini telah melewati lamanya waktu yang pernah dilalui kemarin. Tepatnya sudah tiga puluh hari mencari kabar. Dewa tak kunjung menghubunginya. Bukan cuma rindu yang terus menyesap di pikirannya yang kosong. Tapi juga risau yang makin merayap habis isi kepalanya.

Bagaimana keadaan Dewa dan ibunya, sekarang? Sehatkah mereka berdua? Apakah Dewa mampu bertahan hingga sekarang? Apakah ia sudah menemukan pekerjaan?

Luisha rela menukar rasa cintanya, asalkan Dewa bisa survive dari keterpurukan. Dan bisa melihat senyum para perindu kebahagiaan.

***

Luisha masih fokus menghadapi pentas teater yang tinggal menghitung hari. Latihan makin intens untuk pemadatan. Ia tak ingin lagi bermuram durja, bergelayut pada kegalauan. Jika nanti tiba-tiba Dewa menghubunginya, anggap saja itu adalah hadiah.

Dan ternyata benar, siang ini Dewa akhirnya menghubunginya di hari ke tiga puluh lima. Hari terlama dari sebelumnya, memecahkan rekor. Derai tangis pun tak terelakkan. Terutama Luisha, tangisannya pecah di seberang telepon.

"Aku baik-baik saja, beb. Jangan khawatir," kata Dewa menenangkan Luisha. Sementara Luisha masih tersedu lirih. "Ini aku pinjem hape ponakan lagi, makanya bisa hubungi kamu."

"Kapan, akan di jemput lagi hapenya?" tanya Luisha manja sambil sesenggukan.

"Entahlah, tapi minggu depan aku ada panggilan kerja lagi. Doain ya, ini jalannya."

"Aku selalu berdoa terus untuk kakak."

Kemudian Dewa menceritakan tentang bagaimana ia melewati hari-hari nya selama tiga puluh lima hari. Sulit dan teramat sulit. Ia bahkan jarang makan, ia hanya mengutamakan ibu. Tak jarang ia juga jatuh sakit karena asam lambungnya kambuh.

Ia bisa bertahan hidup dari penjualan kerudung di olshop nya yang mulai menampakkan hasil. Meskipun masih belum ramai pembeli. Sekurangnya ada dua transaksi setiap minggunya. Lumayanlah untuk mencukupi kebutuhan primer. Namun, belum bisa untuk menebus ponselnya di rumah gadai lagi.

"Kamu sabar ya beb, insyaallah nanti kalau aku benar-benar di terima kerja. Pasti gaji pertamaku langsung ku buat tebus hapenya." jelas Dewa.

Lihat selengkapnya