Gue lelah! Rasanya mau menyerah sekarang juga. Kalau dulu gue mengalah pada Papa, hidup gue saat ini bisa jadi sedang di atas awan. “Tapi, Jack,” kata gue lemas sedikit antusias, “honor yang sampul majalah udah cair, ‘kan?”
“Belum juga, Tis, janjinya akhir bulan.“
“Astaga! Kapan gue bisa eksis kalau gini terus?” Gue langsung memutus sambungan telepon. Mudah-mudahan Jack, manajer gue yang bungkuk itu, merasa tersinggung. Sudah dua bulan dia sukses mengalungkan status pengangguran di leher gue dan rasanya seperti tercekik.
Gue mengempas di tempat tidur. Bermenit-menit gue sibuk memikirkan alasan karier gue sulit menanjak, solusi-solusi licik, juga ... cicilan. Pada satu titik, gue memilih mengingat kejayaan di masa lalu.
Sejak TK, gue sudah hobi bergaya. Kegemaran bergaya itu membuat gue keranjingan ikut lomba fashion show. Gue dapat piala pertama saat berumur lima tahun. Sampai sekarang, ratusan piala sudah bertengger di lemari rumah orang tua gue, tapi piala-piala itu tidak pernah disukai Papa. Mungkin sudah dibuang atau dibakar saat gue memutuskan angkat kaki dari rumah yang sudah merawat gue dua puluh tahun lamanya. Papa tidak pernah sadar kalau semua piala itu adalah bukti gue berbakat di dunia hiburan, bukan di dunia bisnis seperti yang Papa harapkan.
Perlahan gue memejamkan mata, lalu wajah Val terlintas. Sudah seminggu gue putus komunikasi dengan laki-laki itu karena jaringan di tempatnya berburu foto lebih buruk dari wajah Hulk. "Hah!" Gue tersenyum kecut. Sekarang gue adalah model kurang kerjaan yang tidak bisa apa-apa selain memikirkan pacar.
Apa sudah saatnya gue keluar dari JM? Apa seharusnya gue buat sensasi daripada menanti prestasi yang sepertinya tidak akan datang? Gue jadi ingat awal bergabung dengan Jakti Management. Saat itu gue berhasil lolos casting sinetron. Niat ikut casting mau jadi pemeran utama, tapi apalah daya gue yang hanya bisa jadi Karina, seorang resepsionis di kantor pengacara si tokoh utama. Gue jarang syuting. Kalau pun syuting, hanya untuk beberapa adegan yang minim dialog. Dua ratus episode tidak membuat gue dikenal siapa-siapa, bahkan oleh ibu-ibu penjual kutang di Tanah Abang.
Gue buru-buru bangkit ke kamar mandi dengan isi perut yang seolah-olah sedang catwalk. Di ambang pintu, gue muntah. Ini kedua kalinya sejak pagi tadi. Gue membungkuk lemas di wastafel, memutar keran air, lalu membersihkan mulut dan mencuci muka. Apa gue keracunan makanan?
Gue kembali ke tempat tidur dengan keyakinan kalau gue tidak keracunan, tapi stres. Gue butuh istirahat alias tidur tanpa banyak pikiran. Baru beberapa menit memejamkan mata, hp gue berdering.
“Ada apa, Pong?” tanya gue setelah kami bertukar kabar.
“Aku mewakili Jawa Timur ikut Olimpiade Sains, Kak!” Logat Jawa Pong tambah kental. “Nilaiku seratus pas seleksi tingkat provinsi.”
“Seratus? Berarti benar semua, dong? Masa, sih? Gue nggak percaya.”
“Kakak meragukan kemampuanku?” Pong tertawa. “Nanti aku kasih link beritanya biar Kakak percaya.”
Buset, deh, adik gue pintar amat! “Gue percaya, kok, Pong.”