Harmoni, Disharmoni

Susi Idris
Chapter #3

TIGA

“Diara, ini Tante Nela.”

Aku mendadak terpaku. Nama itu langsung mengingatkanku pada Bu Nila, kakaknya, juga pada Nila Ballet School, tempatku belajar balet sejak usia lima sampai delapan belas tahun. “Ya, Tante?” Aku masih berdiri di depan cermin, memegang ponsel dengan tangan gemetar. Karena pintu kamar terbuka, aku buru-buru menutupnya. Aku takut Arlen masuk dan mendengar obrolan kami. Terus-terang, aku deg-degan dengan apa yang akan disampaikan perempuan di seberang. Sudah lama kami tidak berkomunikasi.

“Bagaimana kabarmu dan Mika?”

“Kami baik, Tante.”

“Tante ingin sekali ketemu Mika. Kamu tinggal di mana sekarang, Ra?”

“Di Jakarta.”

“Alamat lengkapmu di mana?”

Tante Nela ingin tahu di mana aku tinggal? Setelah tiga tahun aku sengaja memutus kontak dengan keluarga mereka, sekarang dia ingin tahu di mana tempat tinggalku? “Tante, aku udah punya kehidupan baru.” Aku memberanikan diri mengatakan itu. “Aku nggak mau lagi ngurusin masa lalu. Semuanya udah selesai. Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.” Tanpa menunggu respons, aku langsung menutup telepon, menyimpannya di meja rias, lalu merapatkan kedua tangan yang getarnya semakin parah.

“D!” Arlen memanggil dari ruang tamu yang berhadapan dengan kamar ini. “Aku mau ganti kaus kaki. Tolong ambilin yang warna hitam!”

Aku membuka lemari dan meraih sepasang kaus kaki hitam di dalam laci. Aku menarik napas dan mengembuskannya berkali-kali, lalu keluar dengan menenteng tas kerja Arlen. “Ini, A!” kataku seraya menyodorkan kaus kaki.

“Makasih, Sayang.”

Perlahan aku duduk di salah satu sofa, lalu memandangi Arlen yang sedang memakai sepatu. Aku tiba-tiba memikirkan “Hari Berpisah”. Siapa yang lebih dulu akan ditinggalkan? Siapa yang lebih dulu akan meninggalkan? Perpisahan seperti apa yang nanti akan terjadi? Maut? Egoisme? Orang ketiga? Aku buru-buru membelokkan pikiran aneh itu, berhenti di sebuah meja dengan tumpukan naskah fiksi, sebuah komputer, kalender penuh coretan, buku catatan, dan berbagai alat tulis yang keluar dari kotaknya. Aku benar-benar rindu bekerja.

“Ini masih pagi, Nyonya.” Arlen tersenyum menggoda. “Jangan melamun, dong.”

“Siapa yang melamun?” Aku sedikit salah tingkah. “Ini tasnya, A,” kataku seraya berdiri menyodorkan tas hitam ke arah Arlen.

Arlen bangkit mendekatiku, meraih tasnya, lalu menaruh benda hitam itu di meja. Dia menyapu wajahku sekilas dan aku balas memandanginya. Sekejap, kurasakan kecupan lembut di keningku. “I love you,” bisiknya.

Senyumku merekah. Arlen yang kalem kadang-kadang romantis juga. “Hati-hati, ya, A,” kataku sambil mencium punggung tangannya.

“Papaaa!” Mika berlari ke arah Arlen. Rambut lurus sepunggungnya acak-acakan, mukanya kusut belum dicuci. Arlen langsung menggendongnya. “Papa mau pelgi kelja?” tanya Mika sambil memainkan kerah kemeja Arlen.

“Iya, Sayang, Papa mau kerja dulu. Coba bilang ‘r’. Ker-ja.”

“El. Kel-ja.”

Lihat selengkapnya