Harmoni, Disharmoni

Susi Idris
Chapter #4

EMPAT

Seumur hidup, sepanjang ingatan, gue hampir tidak pernah ke rumah sakit. Sekarang gue ada di sebuah rumah sakit umum di Jakarta, duduk bosan di kursi tunggu poli umum.

Gue langsung membuka Instagram dan kaget foto gue sama Val yang gue post semalam dikomen hampir lima ratus netizen. Gue lihat isinya sembilan puluh persen makian karena katanya foto kami terlalu vulgar. Apanya yang vulgar, sih? Gue cuma telentang di pinggir kolam renang pakai bikini dan Val yang ada di kolam cium pipi gue. Itu doang.

Ah, terserah netizen. Mending gue buat story. Sebagai model dengan 150 ribu followers, gue cukup percaya diri cerita gue dinanti-nantikan banyak orang.

Gue mendongak dan sadar kalau kursi tunggu yang gue dapat terlalu menyedihkan. Tidak ada sandaran punggung seperti tiga deretan kursi di depan. Salah gue sendiri. Gue telat bangun dan terlalu lama berdandan. Ternyata rumah sakit tidak pernah sesepi perpustakaan sekolah.

Sebenarnya kondisi gue pagi ini bisa dibilang lebih baik dari kemarin. Gue sudah tidak sakit kepala dan mual lagi. Sayangnya, kaki gue bengkak. Gue tidak mau kehilangan kaki kurus. Kaki kurus adalah aset, sama seperti tas, perhiasan, sepatu ….

Gue teringat belum mencari sepatu untuk Pong. Gue langsung meraih hp di tas tangan gue yang berwarna kuning kunyit. Saat mendongak, gue melihat cewek di kursi terdepan masuk ke ruang pemeriksaan. Gue buru-buru mengambil alih kursinya.

Sekarang gue duduk di antara gadis kecil berbando merah berusia kira-kira delapan tahun dan seorang lelaki berkumis yang memakai baju sewarna dengan gue, hijau tua. Untunglah dia memakai kemeja lengan panjang, sedangkan gue memakai kaus oblong berlengan pendek, lengkap dengan syal cokelat muda di leher.

Lihat selengkapnya