Gue beralih ke kursi tunggu poli mata sejak sepuluh menit lalu. Pasien mata tidak sebanyak pasien umum, jadi gue bisa dengan mudah mendapat kursi di deretan kedua. Sesekali gue menoleh ke arah gadis cilik berbando merah.
“Tante, dokter di dalam ada berapa, ya?” Gue menanyai perempuan di sebelah kanan gue, yang kutaksir sebaya usia Mama. Saat dia mendongak, gue sadar matanya merah dan berair. “Maksudku,” gue refleks menunduk, takut tertular, “tadi ada dokter yang keluar, tapi kayaknya belum masuk-masuk. Itu kira-kira ke mana, ya?”
“Kurang tahu,” jawabnya ketus. Dia lalu meraih saputangan di dompet kulit imitasinya, kemudian mengusap-usap kelopak mata. Gue berbalik memunggunginya, berusaha keras tidak mengumpat. Gue tidak mau kualat.
“Di dalam biasanya ada tiga dokter,” kata lelaki tua yang teramat kurus di sebelah kiri gue. Awalnya gue pikir dia tidak cocok jadi informan, ternyata sebaliknya. Dia sudah berkali-kali mengontrol kesehatan matanya di sini. “Kalau yang keluar tadi,” lanjutnya, “namanya Dokter Arlen. Mungkin ke ruang operasi.”
Mendengar nama Arlen, entah mengapa jiwa raga gue seolah melayang-layang saking senangnya. Gue langsung bangkit dari kursi. Hanya beberapa langkah, kaki gue sudah sampai di mulut lorong yang tadi melenyapkan si Alien.
“Sus!” Gue menahan seorang suster. “Ruang operasi mata, di mana, ya?”
“Belok kanan.” Mata gue mengikuti arah tangannya. “Ruang pertama.”
Tidak sampai semenit, gue sudah berdiri di ambang pintu yang dua daunnya terbuka lebar. Tembok di kanan dan kiri gue hanya berjarak sekitar tiga meter. Ada dua kursi panjang bercat putih yang sandarannya menempel di masing-masing tembok. Gue mendongak membaca sebuah papan nama yang kira-kira berjarak lima belas langkah dari sini: RUANG OPERASI MATA.
Gue memilih duduk di salah satu kursi. Kursi yang barangkali disediakan untuk sopir atau asisten rumah tangga dari pasien yang matanya sedang dioperasi. Terlalu sunyi di sini. Gue yakin keluarga pasien menunggu di dalam. Gue memandang orang-orang yang lewat, kemudian mulai merasa konyol. Oh, ini benar-benar konyol. Gue berdiri.
Baru saja ingin melangkah, seorang dokter keluar dari ruang operasi. Gue tidak bisa tidak deg-degan karena itu Alien, lelaki yang kini kelihatan sangat keren, sangat jauh berbeda dari masa SMA dulu. Sesaat gue terpukau pada tubuhnya yang tidak lagi kurus. Dia tampak proporsional dengan tinggi yang kayaknya 180 cm, karena dia terlihat hanya empat senti lebih tinggi dari gue. Kulitnya berubah—meski tetap sawo matang—setidaknya lebih cerah. Dia tersenyum dan gue balas tersenyum. Tidak, gue tersenyum sejak tadi dan dialah yang membalas senyum gue.
“Tisa?” Dia menyapa saat berdiri di hadapan gue. Hanya ada sedikit keraguan di nada ucapannya dan itu membuat gue senang. “Apa kabar, Tis?” Dia mengulurkan tangan, membuat gue berusaha fokus.
“Baik,” kata gue sambil menjabat tangannya. Gue ingin memeluk Alien, seperti yang tadi melintas di pikiran gue, tapi rasanya ada jarak.
"Lama nggak ketemu, ya, Tis."
Gue bisa merasakan dia antusias ketemu gue dari ekspresi wajahnya. “Iya, ya, lama banget dan ternyata Alien udah jadi dokter.” Gue menarik lengan jas putihnya yang sedikit longgar. Dia tertawa.
“Kamu nungguin siapa?” tanyanya sambil memasukkan tangan ke saku jas putihnya.
“Mmm, gue ....”