“Ini tahun terakhirnya, Ra,” kata Ibu di seberang dengan nada getir.
“Padahal tinggal skripsi,” ucapku kesal. Kami masih membicarakan Salman, adik semata wayangku yang sudah kuliah nyaris tujuh tahun. Kalau dia tidak sibuk dengan kursus musik dan kegiatan menyanyi di kafe, aku yakin saat ini Salman sudah S2. Semua bermula saat dia (ditantang) menyanyi oleh teman-temannya di acara ulang tahun pacarnya. Saat itu dia baru semester tiga. Tidak ada yang tahu keindahan suara Salman hingga video menyanyinya di acara itu tersebar seantero kampus, lalu sampai pada orang-orang di klub vokal universitas yang mati-matian menawarinya bergabung.
Salman akhirnya bergabung. “Aku berbakat di dunia musik, Kak. Aku ingin jadi musisi.” Begitu dulu kata-katanya padaku. Salman yang sejak SMP selalu membagi mimpinya untuk menjadi seorang penemu, peraih medali emas Olimpiade Fisika Nasional tingkat SMA, tiba-tiba berkata ingin menjadi musisi? Aku dan Ibu tidak bisa memakluminya. Dia sudah kuliah di Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, dengan IP cumlaude per tiga semester. Kami yakin itu hanya euforia menjalani dunia baru. Ternyata tidak.
Setelah setahun bergabung di klub vokal universitas, Salman memutuskan keluar. Dia memilih memperdalam musikalitasnya dengan (pertama-tama) mengikuti kursus piano. Setelah mendapat kontrak menyanyi pada sebuah kafe di Surabaya, dia menambahkan jumlah kursusnya menjadi kursus biola, kursus saxophone, kursus vokal, dan aku tidak mau peduli dia kursus apa lagi. Karena sering alpa, IP Salman turun drastis.
“Nanti aku bicara lagi sama dia, Bu," ucapku kesal. “Pokoknya S1-nya harus selesai. Terserah nanti dia mau lanjut S2 atau tidak.”
“Jangan terlalu dipaksa, Ra, nanti ribut lagi kayak dulu.”
“Aku nggak masalah kalau dia mau menyanyi, Bu. Musikalitas kami nggak bisa dibantah. Itu warisan Bapak.” Sejenak aku terpaku. Aku teringat Diara kecil yang menari dengan ayahnya di ruang televisi. Aku teringat Diara kecil yang diantar ayahnya ke sanggar balet. Aku teringat Diara kecil dan Salman kecil yang dinyanyikan lagu oleh ayahnya sebelum mereka terlelap. “Tapi … aku mau Salman lebih peduli sama pendidikannya.”
"Iya, Ra, kita semua berharap seperti itu. Semoga nanti dia berubah pikiran."
Pembicaraan kami berakhir karena Ibu ada pertemuan dengan tentor-tentor di lembaga kursusnya. Menyadari itu, tiba-tiba saja aku ingin keluar rumah. Aku merasa sudah terlalu lama terkurung. Setelah berhenti bekerja, aku benar-benar sangat jarang meninggalkan rumah.