Gue memarkir mobil di bawah pohon mahoni. Dari sini, gue bisa melihat Jack sedang berbicara dengan Steffy di teras. Gue jadi malas turun kalau harus berpapasan dengan artis itu. Dia baru dua tahun bergabung dengan Jakti Management dan gue langsung jengkel sama dia sejak hari pertama kami bertemu. Di hari itu, di kantor ini, dia mencabut cas ponsel gue dari colokan, lalu memasang cas ponselnya tanpa izin lebih dulu. Gue jengkel karena dia cuma bilang, “Oh, itu hp lo?”
Sekarang dia tertawa dan menepuk lengan Jack. Jack melambai ke arah mobil gue, membuat Steffy menoleh. Gue bisa melihat mukanya yang mirip tante-tante di usianya yang baru dua puluh dua tahun. Alisnya disulam sehitam aspal dan melengkung kayak gunung. Gue yakin bibirnya yang tebal dan mirip moncong ikan buntal bukan bibir asli. Gue juga yakin, bokong dan payudaranya yang montok itu hasil implan silikon.
“Gue tunggu di ruangan lo,” kata gue pada Jack. Steffy tiba-tiba membuang ludah, membuat gue tersinggung. Gue ingin menjambak rambut panjangnya dan mencakar mukanya, tapi gue ingat pernah janji pada Jack untuk lebih bisa mengontrol emosi.
Tiba di ruang tengah yang diisi satu set sofa cokelat, sebuah televisi, serta lemari di sudut ruangan, gue menyadari kehadiran properti baru berupa banner sitkom perdana yang dibintangi Steffy. Banner setinggi kira-kira satu meter itu diletakkan dekat tangga menuju lantai dua. Gue mengamati dan sekejap merasa iri. Di antara Steffy tampak komedian-komedian papan atas Indonesia. Gue refleks memutar banner itu agar gambarnya menghadap ke belakang. “Liat aja nanti, gue akan lebih tenar dari lo.”
Di lantai dua, gue langsung masuk ke ruangan Jack. Ruang berukuran 5 × 6 ini masih sama membosankannya dengan yang dulu-dulu. Sempit, agak gelap, dan perabotnya tidak ada yang berubah wujud atau berganti posisi sejak pertama kali gue ke sini. Hanya tiga perabot utama: meja kerja di tengah ruangan, lemari kaca berisi tumpukan kertas di sebelah kanan, dan sebuah kulkas di sudut kiri ruangan.
Gue meraih sekaleng minuman bersoda di kulkas, meneguknya sampai berkurang seperempat, lalu duduk di kursi kebesaran Jack, sebuah kursi putar dengan sandaran empuk. Gue melepas syal di leher, lalu iseng menyentuh laptop yang masih menyala di meja. Ada foto-foto keluarga kecil Jack di sebuah pesta pernikahan. Gue menggulir foto demi foto.
“Halo, Tis!” Jack muncul setelah kira-kira dua ribu tahun.
“Lama banget, sih!” balas gue tanpa mendongak dari laptop. Lelaki empat puluh tahun itu mendekat, meraih kacamatanya di sisi laptop, lalu duduk di kursi di hadapan gue. Ini posisi yang salah. Seharusnya bos tidak duduk di kursi besi yang keras dan tidak bisa berputar-putar. Tapi Jack bukan bos yang bisa ditakuti. Dia berhati aki-aki: lembut, bijaksana, dan yang paling penting dia sudah menganggap gue sebagai adik. “Ini foto pernikahan siapa, Jack? Dekorasinya keren. Gue tiba-tiba jadi pengen nikah.” Gue tertawa.