Aku menyelimuti Mika yang pulas, lalu meninggalkan kamarnya. Sebelumnya, aku sudah memastikan tidak ada benda-benda berbahaya (lagi) yang mungkin akan membahayakannya saat terjaga. Aku tidak mau dia terluka. Arlen pasti tidak memahami ini. Dia mungkin berpikir aku ibu yang baik-baik saja jika anaknya terluka.
Aku langsung menarik laci penyimpanan barang di bawah tempat tidur saat tiba di kamarku. Ada empat laci, dua di sisi kanan dan dua di sisi kiri. Aku harus memeriksa keempat laci untuk menemukan sepatu baletku.
Ada beberapa sepatu yang kelihatannya masih pas di kakiku. Kapan terakhir kali aku memakainya? Mungkin empat atau lima tahun yang lalu. Aku langsung meraih pointed shoes warna cokelat susu. Aku memakai sepatu itu dan terlihat cocok dengan celana capri polyester dan blus sepinggang yang (masih) kukenakan. Aku malas menggantinya. Tinggal empat jam lagi sebelum kami pergi.
Aku meraih ponsel dan menyetel lagu Rock Your Soul - Elisa. Aku masih sering memilih lagu ini untuk mengangkat kaki, tangan, kepala, dan tubuhku. Liriknya sangat menggambarkan aku yang selalu lemah oleh keadaan.
Aku menari di lantai kayu kamarku. Balet kontemporer adalah kesukaanku, bahkan Bu Nila dan teman kursusku dulu mengatakan itu keahlianku.
Saat Elisa mengatakan just wanna be one with you, aku berputar dengan melingkarkan kedua tangan di depan, lalu berputar lagi dengan kaki kiri setinggi lutut kanan, sementara tangan kanan kuletakkan di dada kiri dan tangan kiri kuletakkan di perut kanan. Aku hanya ingin menjadi satu dengan keadaan, tetapi aku seolah sedang memeluk diriku yang rapuh.
Elisa berkata lagi: and all I want is to rock your soul, all I want is to rock your soul, all I want is to rock your soul. Aku melompat sambil mengangkat kedua tangan, lalu menjatuhkannya dengan konstan. Aku berputar dengan kedua tangan terentang dan kaki kanan yang mengayun di depan. Tubuh kujatuhkan setengah ke belakang, lalu secepat kilat aku menunduk hingga tangan kananku bisa menyentuh kaki kiri dan tangan kiriku bisa menyentuh kaki kanan. Kedua tangan itu lalu bergantian mengitari kepalaku. Aku sedang berusaha menyentuh jiwa orang lain agar mereka peduli padaku, memahamiku.
Aku ikut bernyanyi pelan saat Elisa berkata together with the sun, we shine all the way, together with the rain, with the sun, with the rain, the rain and the sun. Sejujurnya aku merasa diriku sedang bergulat (ketimbang bersahabat) dengan alam semesta. Aku menunjuk ke atas dengan tangan kanan sembari membuka kaki kanan ke samping, lalu saat tanganku turun, kuayun-ayun dengan gemulai di sekitar pahaku. Aku sudah siap berlutut, tetapi musik tiba-tiba berganti suara getar.
Salman menelepon.
"Hai, Kak! Kakak lagi ngapain?" Suara Salman terdengar dibuat-buat. Aku menduga dia baru saja ditelepon Ibu yang menyuruhnya meneleponku.
"Kakak lagi santai aja, kok," sahutku seraya mengempas di tempat tidur. "Kamu yang lagi ngapain? Kayaknya ribut banget di belakang."
"Oh, ini kebetulan lagi di studio teman mau cover lagu."
Aku menggumam. "Kakak sampai lupa punya adik musisi." Aku teringat sudah sangat lama tidak menonton YouTube Salman. Aku pasti tertinggal banyak dari fans-fansnya, padahal aku juga salah satu fans. "Aku paling ingat Salman itu sang juara olimpiade."
Salman tertawa singkat, lalu berkata, "Ya, ingatan Kakak lumayanlah. Cocok, sih, jadi editor. Eh, mantan."