Aku memperhatikan Arlen yang sedang sibuk memilih buku cerita bergambar untuk Mika. Jarak kami terpisah sekitar sepuluh meter, tetapi dari tempatku saat ini, Arlen dan Mika terlihat jelas. Mereka di depan rak buku anak, sedangkan aku berdiri di sisi rak buku fiksi. Bertahun-tahun sebelum ini, saat kami masih berseragam putih abu-abu, aku biasa melakukan hal yang sama: memandangi Arlen dari kejauhan, memandangi Arlen dari balik rak-rak buku di perpustakaan sekolah.
Arlen memberikan tas berlogo toko buku pada Mika, lalu menggendong anak itu. Sesaat aku sadar, mereka mendekatiku. Aku tersenyum lebar saat bertukar pandang dengan Arlen (tidak seperti saat Arlen memergokiku di perpustakaan, aku pasti buru-buru berlalu).
Aku menyukai Arlen sejak melihatnya berpidato bahasa Inggris saat penutupan MOS dulu, tidak peduli orang-orang berbisik kalau dia anak cleaning service sekolah. Aku lebih peduli kalau dia tidak menganggap hal itu “aib”. Aku juga tidak peduli kalau dia kurang ganteng dan kurang berat badan, aku lebih peduli kalau dia senang membaca.
“Ma, di sini ada Dola!” seru Mika sambil menggoyang-goyangkan tas di tangannya. “Ada gambal kebun-kebun juga, tapi bukan kebunnya Dola. Ada bunganya.”
Aku meraih tas itu, lalu mengamati buku apa saja yang dibelikan Arlen untuk Mika. “Jangan beli buku sembarang, A,” kataku spontan.
“Maksudnya?” Arlen ikut mengamati buku-buku di tanganku. “Itu hanya buku mewarnai dan buku dongeng.”
“Iya. Maksudku, sekarang kita harus lebih selektif memilih bacaan untuk Mika.” Aku masih jengkel mengingat kejadian tadi pagi yang membuatku basah kuyup. Arlen terdiam dengan ekspresi tidak paham. “Baru-baru ini viral buku anak yang gambarnya kurang pantas,” kataku mencari-cari alasan.
“Susah juga kalau masih disegel begitu. Nanti sebelum dikasih ke Mika, kamu baca dulu.” Arlen memasukkan beberapa anak rambut ke kupluk yang kupakai. Aku memandanginya dan dibalas seulas senyum. Senyuman yang selalu mampu membuatku luluh.
Aku langsung mengembalikan tas ke tangan Mika. “A, ke sana, yuk!” Aku menunjuk rak best seller. Awalnya Arlen berjalan di belakangku, lalu dia berhenti di rak buku kesehatan masih bersama Mika di gendongannya. Kulihat Mika menjatuhkan kepala di bahu Arlen, wajahnya tampak mengantuk.
Aku melihat-lihat beberapa buku, kemudian meraih sebuah buku motivasi. Saat menyimpannya kembali, mataku berbinar menyadari judul buku di pojok bawah rak. Aku meraih satu buku yang sudah tidak berplastik dengan senyum semringah. Meski hanya sebagai editor, aku sangat bahagia melihat novel yang turut kubantu “kelahirannya” ini berada di rak best seller, bahkan sudah cetakan kedua.
“D, Mika mengantuk. Kita pulang, ya.”
“A, lihat!” Aku tidak menanggapi perkataan Arlen. Bagiku, ini waktu yang tepat untuk mengungkit masalah pekerjaan. Arlen meraih buku di tanganku dan tampak tidak mengerti. “Itu novel terakhir yang kuedit,” terangku, “seneng banget bisa best seller, A.”
“Keren,” sahut Arlen sambil membolak-balik novel bersampul biru itu, lalu menyerahkannya kembali padaku.