Harmoni, Disharmoni

Susi Idris
Chapter #11

SEBELAS

Gue harus mengembalikan berat badan gue ke angka 45 kilogram. Oke, tidak akan sulit kalau ganjarannya adalah dua iklan produk Emerzing. Gue buru-buru turun dari timbangan saat mendengar hp gue berdering. “Halo, Val.”

“Gue udah di Jakarta, Tis.”

Wow, hari ini benar-benar menyenangkan. “Udah sampai rumah?”

“Belum, masih di jalan. Oh, iya, pesan lo baru terkirim. Lo jadi ke dokter?”

“Jadi, sih, tapi gue pulang duluan, soalnya antreannya panjang. Malas nunggu.”

“Astaga!” Gue yakin Val di seberang sedang geleng-geleng. “Jadi?”

“Jadi, kaki gue masih bengkak,” kata gue manja.

“Sebengkak kaki sapi?”

“Vaaal!” Gue pura-pura kesal.

“Oke, oke, besok gue antar ke dokter praktik.”

“Makasih, Sayang. Lo bawa oleh-oleh apa buat gue?”

“Ada, deh.”

“Apa?”

“Ulat sagu. Berani makan?”

“Ih!” Gue bergidik jijik diiringi tawa Val. Irval Yudhistira lebih sering menyebalkan dibanding menyenangkan. Dia sering lupa kalau kekasihnya ini seorang yang feminin. Pernah saat kami bertengkar di mobilnya, dia tanpa belas kasihan menurunkan gue di pinggir jalan. Di lain waktu, dia sering mengajak gue ke tempat-tempat membosankan—empang untuk menemaninya memancing atau stadion untuk menemaninya menonton bola—lalu dia asyik sendiri dengan dunianya, membuat gue ingin berubah jadi buaya atau bom molotov.

Val memang menyebalkan, tapi gue menyukainya. Gue suka gayanya yang cuek, santai, dan tidak posesif. Lebih-lebih, dia sangat mendukung pekerjaan gue, seseksi apa pun pose atau baju yang gue kenakan saat fashion show dan pemotretan.

“Ah, ya!” Gue berseru antusias, teringat kabar luar biasa yang disampaikan Jack tadi siang. “Val, gue dapat tawaran iklan loh.”

“Wow!” seru Val. “Iklan apa?”

“Emerzing. Lo tahu, ‘kan, produk itu?”

“Itu makanan kucing atau obat nyamuk, sih? Gue lupa.”

Lihat selengkapnya