Gue memandang nanar dokter berkerudung biru di hadapan gue. Dia sedang berbicara tentang tes darah yang lebih akurat, juga tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh gue lakukan sebagai perempuan yang sedang mengandung.
“Ibu tidak boleh banyak pikiran,” kata dokter itu. “Kalau Ibu sehat dan bahagia, janin Ibu juga akan tumbuh sehat.” Oh, dia terus-menerus memanggil gue Ibu. Ini karena Val sudah berbohong sejak awal, mengatakan kalau kami suami istri. Gue tidak berani melihat Val lagi, padahal dia duduk persis di samping gue. Terakhir memandang wajahnya—saat dokter memberi ucapan selamat pada kami—wajah Val tampak gusar dan cemas. Tidak jauh berbeda dengan kondisi perasaan gue.
Gue dan Val tahu sama tahu kalau kami belum ingin menikah (apalagi punya anak). Hal ini sudah beberapa kali kami bicarakan. Kami masih ingin bebas, masih ingin mengejar karier. Gue juga tahu betul kalau Val trauma pada pernikahan. Orang tuanya bercerai saat dia berusia sembilan tahun. Pertengkaran demi pertengkaran sebelum bercerai benar-benar membuatnya benci dengan “ikatan”.
“Saya sarankan, Ibu dan Bapak segera ke dokter kandungan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tes urine tadi—”
“Iya, Dok, kami akan ke rumah sakit secepatnya.” Val menukas dengan suara yang terdengar muak dengan pembicaraan ini. Dia lalu mengulurkan tangan sambil berdiri. “Pamit dulu, Dok. Kebetulan kami ada kegiatan lain.”
Gue turut menyalami dokter itu sambil mengucap terima kasih.
“Kok bisa, sih?” Di mobil, Val tidak menunda untuk membuat gue jengkel.
“Nggak tahu,” jawab gue polos. “Ini di luar perkiraan kita.”
Val mendengus berkali-kali, lalu mulai menjalankan mobil. “Gue nggak percaya, Tis. Nggak mungkin. Itu anak siapa?”
“Val!” bentak gue. “Ini anak lo. Emangnya siapa lagi?”
“Siapa lagi yang tidur sama lo, ha?”