Setelah puas mengobrol dengan Ibu, aku melangkah ke kamar Salman. Nada-nada dan rangkaian lirik menyusup ke telingaku. Aku tidak bisa tidak bahagia, karena yang sedang mengalun adalah lagu kesukaanku: Dance with My Father - Luther Vandross.
Di ambang pintu yang terbuka, kulihat Salman memeluk gitarnya. Dia bernyanyi di tepi ranjang, di hadapan satu-satunya penonton: Mika. Dia anak yang mudah takjub pada sesuatu. Jika sudah tertarik, pandangannya bisa sangat intensif.
Aku berdiri di belakang sofa yang diduduki Mika sambil menikmati nyanyian Salman. Aku dan Mika bertepuk tangan saat lagu berakhir. “Paman, paman!” Mika berseru seraya turun dari sofa. Tangan mungilnya lalu meraih tas gitar Salman di lantai. “Gital Paman bisa masuk sini, ya? Coba ditaluh di sini, Paman.”
“Coba.” Salman membungkuk memasukkan gitarnya ke tas. Mika turut membantu. Setelah selesai, dia menolak tangan Salman yang hendak menutup ritsleting. Mika ingin melakukannya sendiri. Salman tersenyum, lalu mencium gemas pipi kemenakannya itu.
“Kamu masih sering nyanyiin lagu tadi, ya?” Aku duduk di samping Salman.
“Hampir setiap hari,” ucap Salman seraya mengentak-entakkan kaki di lantai. “Paling sering pas lagi rindu sama Bapak atau sama orang yang pertama kali minta aku menyanyikan lagu itu pakai gitar.”
Aku tersenyum lebar. “Kalau nggak salah ingat, waktu itu kamu masih sebelas tahun dan aku ‘membayar’ pentasmu dengan komik.”
“Paman!” Mika memperlihatkan hasil kerjanya. “Udah jadi!”
Salman bertepuk tangan. “Wow, Keren!”
Dipuji seperti itu, Mika beralih ke tas belakang Salman di sudut kamar, kemudian berusaha membuka ritsletingnya.
“Mika,” aku memanggil, “Mika mau apa, Nak?”
“Mau lihat ini!” ucap Mika yang kini berhasil membuka ritsleting kantung kecil tas belakang Salman yang dibawanya dari Surabaya itu. Tangan mungil Mika mengeluarkan kepingan CD dan kertas-kertas.
“Nanti ditutup lagi, ya, Mika.” Salman memberi tahu dengan nada bersahabat.
“Ini apa, Paman?” Mika mengangkat sebuah CD, memperlihatkannya pada kami.
“Itu compact disk,” jawab Salman, “isinya lagu-lagu Paman.”
“Lagu?” Aku yang bertanya. Mika tampak tidak peduli dengan jawaban Salman. Dia kini berceloteh sendiri sambil mengamati barang-barang yang kembali ditemukannya.
“Itu mini album, sih, hanya lima lagu. Kebetulan salah satu kafe tempatku menyanyi, mau mendukung pembuatan mini album itu. Dijual terbatas.”
“Kapan dibuat?”