Harmoni, Disharmoni

Susi Idris
Chapter #14

EMPAT BELAS

Hal pertama yang gue lakukan pagi ini setelah bangun tidur adalah menghubungi Val. Sudah satu jam sejak percobaan pertama, sudah empat puluh panggilan keluar, dan hp gue sudah nyaris lowbat, tapi nomor yang gue hubungi belum juga aktif.

Gue refleks memukul bantal berkali-kali sambil menjerit kesal. Mata gue bengkak, pipi gue sembap, Gue sangat berantakan pagi ini.

Hp gue tiba-tiba bergetar. Gue yakin itu Val. Pasti Val. Pong!

Kak, sepatuku sudah sampai. Keren banget, Kak. Pas banget di kakiku.

Bergetar lagi. Ini Val. Pasti Val. Pong lagi.

Lupa bilang terima kasih. Btw, Kakak lagi apa? Telepon aku, dong. Aku mau cerita-cerita.

Gue menekan layar ponsel dengan jari-jari gemetar sampai terbentuk dua kalimat pendek. Aku lagi sibuk, Pong. Nanti, ya.

Pong membalas: Oke, deh, tapi sesibuk apa pun, sebentar Kakak jangan lupa makan siang, ya. Gue ingin menangis membaca pesan itu. Makan siang? Gue bahkan belum sarapan, Pong.

Oh, Tis, jangan bodoh. Lo harus bangun! Sebentar sore lo akan tanda tangan kontrak.

Gue bangkit menuju kamar mandi dengan kepala dan mata yang cukup berat. Di pojok, pakaian-pakaian kotor gue semakin menumpuk. Ini hari apa? Harusnya petugas laundry sudah datang membawa baju gue yang sebelumnya dan gue bisa memberinya pekerjaan baru.

Tanpa tenaga gue mencuci muka, menggosok gigi, lalu menyisir rambut. Wajah gue tampak pucat di cermin kamar mandi. Gue sadar belum makan apa pun sejak kemarin.

Gue beranjak ke dapur, tapi tidak berani melakukan apa-apa. Selama bertahun-tahun tinggal di apartemen ini, hanya beberapa kali gue menyalakan kompor. Kehidupan mewah yang gue miliki sejak lahir, membuat gue tidak berminat belajar memasak.

Hp gue mati tepat setelah memesan spageti di restoran apartemen. Gue ingin makan, mandi, dan sejenak biarkan gue lupa kalau Val masih belum mau bertanggung jawab.

***

Lihat selengkapnya