Meskipun khayalan-khayalan buruk tentang masa depan gue sesekali melintas, satu jam bergulir cukup menenangkan di kamar mandi. Lagu-lagu klasik The Beatles mengalun dari ipod yang gue letakkan di sisi bathtub. Gue berendam dengan busa sabun yang melimpah. Tangan gue sesekali mengelus-elus perut, menghayati keberadaan janin di dalamnya.
Keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit kepala dan piyama yang membungkus tubuh, gue langsung meraih hp yang baterainya sudah penuh, kemudian mengaktifkan benda canggih itu. Gue mengempas di sofa panjang depan televisi diikuti bunyi bip berulang-ulang yang membuat gue cukup deg-degan. Mungkin salah satunya dari Val. Bisa jadi, semuanya justru dari dia. Mungkin Val sudah menyesal atas kata-katanya kemarin.
Nyatanya, lima pesan masuk, tidak satu pun dari Val. Dia benar-benar kurang ajar. Gue langsung menghubungi nomornya dan kali ini aktif.
“Ada apa, Tis?” Nada suara Val membuat gue gentar. “Gue lagi di kantor. Lima menit lagi ada rapat redaksi.” Suaranya pelan, tapi penuh penekanan.
“Gue … tadi pagi gue ngehubungin lo berkali-kali, tapi lo—”
“Ada apa emang?” Dia menyela dengan desahan jengkel.
“Lo lupa?” Gue mulai emosi. “Lo seharusnya antar gue ke dokter kandungan.”
“Gue sibuk, Tis, gue bukan pengangguran kayak lo.”
“Kalau sibuk, apa susahnya ngirim pesan? Kita bisa cari waktu yang tepat, ‘kan?”
“Nggak ada waktu yang tepat untuk mendengarkan ceramah dokter tentang anak yang bukan darah daging gue.”
“Sialan lo, Val! Lo tuh nggak punya hati banget, sih!”
“Tis,” Val menukas. “Anak itu harus digugurin demi kebaikan lo. Pikirin baik-baik. Gue belum mapan untuk jadi suami dan orang tua. Gue nggak mau kita ngulang kebodohan nyokap dan bokap gue. Gue juga … lo tahu, gue benci anak kecil. Lebih baik digugurin.”
Mendengar kata “digugurin” berulang-ulang, tubuh gue lemas seketika. Beberapa kali gue menonton berita tentang upaya itu di televisi dan gue spontan selalu mencaci pelakunya. Itu perbuatan keji dan gue tidak (akan) sekeji itu. “Gue nggak mau, Val. Itu sama aja dengan membunuh. Lagian, gue … gue takut.”
“Tenang, Tis. Gue punya teman yang pernah kayak gitu dan sampai sekarang dia masih hidup. Nanti gue tanyain tempatnya, ya. Lo nggak usah khawatir. Nggak akan terjadi apa-apa, Sayang.”
Gue termenung dengan pikiran kosong. Kepala gue tambah berat. Val kemudian melanjutkan kata-katanya. “Oke, bagaimana kalau besok?”
“Tapi, Val—”
“Gue akan ke tempat lo besok.” Val benar-benar tidak memberi gue kesempatan bicara. Dengan alasan rapat sudah akan dimulai, dia pun memutus sambungan.
Gue ingin menangis, tapi gue tidak boleh melakukannya sekarang. Gue harus mulai berdandan. Gue harus tampil menawan. Gue harus …. Hp di tangan gue kembali berdering. Kali ini Jack yang memanggil.
“Astaga, akhirnya tersambung.” Jack di seberang terdengar lega.
“Ada apa, Jack?” tanyaku lemah.
“Beberapa jam lagi menuju pertemuan, Tis. Gue cuma mau ngingetin, sih.” Jack tertawa. “Oh, iya, lo udah baca pesan gue? Naik mobil lo aja, ya, mobil kantor lagi mogok.”