Saat meminta Salman mengantarku ke kantor Tara Media, aku sudah membuat perincian, mengingat Salman ada janji bertemu jam setengah dua, seperti ini: Tiba di Tara Media jam sembilan. Kembali ke rumah jam sebelas. Salman bisa istirahat sejenak sebelum berangkat untuk memenuhi janjinya.
Nyatanya, perincianku tidak terpakai. Jalanan macet parah karena sebuah kecelakaan. Mika juga berkali-kali mengeluh lapar. Kami akhirnya berhasil menepi di salah satu restoran. Kami makan siang dan aku sadar kalau Salman tidak akan bisa mengantar aku dan Mika pulang. Kami harus naik taksi, sedangkan Salman akan langsung ke tempat pertemuannya.
“Kakak ikut aku aja. Naik taksi pas macet begini, bikin rugi. Mending uangnya buat beli boneka untuk Mika.” Aku tidak memikirkan uang sewa atau boneka saat mendengar ajakan Salman. Yang kupikirkan adalah: dengan ikut bertemu seseorang yang bernama Jakti Poernomo dan mendengar rencana-rencananya, aku bisa menilai kelayakan orang itu dan manajemennya dalam hal “mengurus” Salman. Dengan tahu banyak (dan kuharap mereka tidak berkualifikasi), aku bisa meminta Salman kembali ke Surabaya lebih cepat.
Jadi, di sinilah kami, di sebuah ruang yang kira-kira berukuran 5 x 4 meter. Meja kayu persegi panjang berukuran sekitar 2 × 1 meter setinggi pinggang orang dewasa berada di tengah-tengah ruangan dengan kursi-kursi besi mengelilinginya. Meja dan kursi menindih karpet hijau tua yang agak kasar. Di langit-langit berplafon putih, sebuah kipas angin tua berputar-putar lambat. Sebuah laptop dan dua buah map cukup tebal sudah ada di meja sejak kami dipersilakan masuk.
“Lama banget, sih, Sal.” Aku yang duduk tepat di samping Salman, berbisik padanya. Mika di pangkuanku meronta-ronta ingin turun. “Tidak profesional,” lanjutku seraya mengikuti Mika menuju papan tulis putih di belakang kursi yang tadi diduduki Jack.
“Tidak semua laki-laki mau membuat teh untuk tamunya, Kak,” sahut Salman santai.
Semenit kemudian, Jack kembali dengan nampan logam berisi tiga cangkir teh. Dia duduk di tempatnya semula setelah menyebarkan cangkir demi cangkir. Aku memanggil Mika untuk kembali ke pangkuanku, tetapi dia masih betah membuat coretan di papan tulis. “Oh, harusnya satu lagi,” kata Jack saat menyadari keberadaan Mika. “Oh, ini aja.” Dia menyodorkan cangkirnya, membuat dirinya tidak mendapat bagian.
“Tidak apa-apa, Mas, Mika tidak minum teh.” Aku sigap mengembalikan cangkir tehnya. Dia tersenyum lebar sembari mengingatkan kalau aku dan Salman cukup memanggilnya “Jack”, tanpa embel-embel, dan dia juga akan memanggil nama kami tanpa embel-embel.
“Jadi gini, Sal. Gue udah ngirim profil dan mini album lo ke tiga label rekaman.” Jack menyebut nama ketiga label rekaman itu, tetapi tidak satu pun familier di telingaku. Salman masih menyimak perkataan Jack saat tiba-tiba Mika minta digendong olehnya. Salman refleks menarik Mika ke pangkuannya. Itu membuat Jack tersenyum tipis, mungkin merasa geli dengan calon artisnya. “Kabar gembiranya—” Mika menukas Jack dengan celotehannya tentang kipas angin yang dilihatnya di langit-langit.
“Maaf,” kataku pada Jack dengan tangan yang sigap meraih Mika dari pangkuan Salman. Perasaan “tidak enak” membuatku bergeser tiga kursi dari posisiku, duduk di pinggir. Aku berbisik pada Mika tentang Singgah Membeli Boneka, lalu dia diam.
“Kabar gembiranya adalah Intro Music Indonesia tertarik mau kerja sama. Mereka tertarik hanya dalam waktu delapan hari loh. Itu pencapaian luar biasa.”
“Label yang lain, bagaimana?” Salman bertanya santai.
“Gue yakin cepat atau lambat, mereka juga akan ngirim surat persetujuan, tapi apa kita harus nunggu?” Dia meneguk tehnya, kemudian melanjutkan, “Nggak perlu, karena gue yakin IMI bisa jadi rekan bisnis yang solid.” Jack lalu menyorongkan sebuah map pada Salman. Salman membolak-balik isinya. “Itu data-data tentang IMI, termasuk penyanyi-penyanyi yang bergabung dengan mereka sejak terbentuk tujuh tahun lalu. Emang, sih, IMI belum punya nama besar, tapi mereka sangat profesional. Di bagian belakang, gue sertain balasan email dari pihak mereka. Lo bisa baca itu duluan.”
Beberapa saat hening di antara Jack dan Salman, tetapi tidak di antara aku dan Mika. Mika mengeluh ingin pulang, terus-menerus menanyakan neneknya, dan menagih boneka.