Harmoni, Disharmoni

Susi Idris
Chapter #18

DELAPAN BELAS

Bertemu dengan Diara benar-benar membuat suasana hati gue kacau balau. Dia selalu keren! Kenapa dia selalu keren bahkan di saat pakaiannya hanya kemeja dan rok jeans, sih?

Gue tidak suka sama dia sejak SMP kelas dua, saat itu kami sekelas. Semua orang bilang dia cantik, dia penuh bakat, dia pintar, dan dia baik. Dua terakhir tidak gue miliki. Gue buruk pada pelajaran apa pun dan dia sangat cemerlang pada pelajaran apa pun. Dia ketua kelas dan gue (hanya) seksi kesenian. Hampir semua warga sekolah menyukai Diara. Dia tidak sombong, tidak belagu, senang mengajari teman-teman yang masih kesulitan pada materi tertentu, dan dia melawan keras keberadaan geng-geng yang kerjanya mengganggu ketenangan orang lain.

Geng gue saat SMP, sangat mencolok sebagai geng kriminal. Anggotanya pernah lima, tujuh, bahkan dua belas. Semuanya tidak menetap karena ada yang pindah sekolah, ada yang insaf, dan banyak juga yang menusuk dari belakang. Hanya Iren yang setia sampai kami tamat SMA.

Gue teringat betapa seringnya Diara menggagalkan usaha geng gue untuk tertawa bahagia karena menghina orang, merebut milik orang lain, atau mengerjai si A, B, C, dan seterusnya. Dia sangat menyebalkan! Gue dendam sama dia, iri sama dia, jengkel sama dia. Dia sulit untuk dilawan. Kata-katanya selalu cerdas menusuk. Lagian, siapa yang tidak akan membelanya?

Lulus SMP, ternyata kami sekolah di SMA yang sama. Meskipun tidak pernah sekelas selama tiga tahun, gue dan Diara tidak pernah akur. Dia masih sok sebagai Pembela Kebenaran, sedangkan gue masih tidak bisa berhenti ‘jahat’. Namanya bergema melalui mikrofon karena berbagai prestasi, sedangkan nama gue selalu bergema sebagai siswa yang dipanggil ke ruang BK. Mengingat itu, gue hanya bisa mendesah.

Anaknya sudah sebesar itu, sedangkan gue? Mungkin suaminya pengusaha kaya raya, sedangkan gue? Dia pasti seorang ibu yang keren, sedangkan gue? Gue calon ibu yang berbahaya.

“Biasanya lo ribut, Tis.” Suara Jack membuyarkan lamunan gue. Dia melirik gue sekilas. “Dari tadi lo cuma mendesah, melamun, mendesah, melamun, kayak orang susah.”

“Gue udah bilang, Jack, gue masih syok habis terkunci di kamar mandi.”

“Untung petugas laundry itu datang tepat waktu.”

Gue tidak menyahut. Tatapan gue kosong memandang jalanan dan mobil-mobil yang mendahului kami.

“Oh, iya,” Jack kembali bersuara, “keren, ‘kan, calon artis gue tadi? Eh, bukan calon artis lagi. Dia udah gabung dengan JM.”

“Emangnya dia bisa apa?” Gue bertanya ketus.

“Oh, lo pasti terpukau kalau dengar suaranya. Suaranya lembut, syahdu, bikin merinding. Dia juga pintar main alat musik dan dia nyiptain sendiri lagu-lagunya. Gue punya CD-nya di kantor, kalau lo tertarik.“

“Namanya mirip nama ikan,” kata gue asal, “Salmon.”.

“Jangan plesetin nama semua orang.”

Lihat selengkapnya