Emerzing tidak bisa mengabulkan permintaan Jack untuk mempercepat syuting iklan. “Perusahaan kami punya jadwal yang padat dan konsisten. Kalian tahu sendiri, selain Emerzing, PT Adikarya Gumilang punya banyak brand. Lagi pula, saat ini ada satu iklan Emerzing yang masih tayang. Kami jadwalkan tiga bulan lagi baru bisa syuting.” Seperti itu pihak Emerzing menjelaskan tadi. Jujur, saat mendengar semua itu, tubuh gue langsung lemas. “Kalau Mbak Atisha memang ada kerjaan bulan itu, dengan berat hati kami akan mencari artis lain.” Kata-kata itu membuat gue buru-buru meraih pulpen di tangan Jack.
Setelah menandatangani kontrak, ketenangan gue luar biasa terusik. Gue seperti penjahat yang baru saja kabur dari penjara, merasa sewaktu-waktu akan tertangkap. Gue takut dan membenci keputusan gue, tapi di sisi lain gue membayangkan bagaimana rasanya naik daun, bagaimana rasanya jadi artis papan atas. Semua itu membuat gue susah tidur. Mata gue baru bisa terpejam, gue rasa, sekitar jam sebelas malam. Saat terbangun setengah jam lalu, perasaan gue masih sama berantakan.
Hingga detik ini, gue masih memikirkan kejahatan yang akan gue perbuat bersama Val besok. Tangan gue mencengkeram selimut, mulut gue meloloskan erangan bertubi-tubi. Besok gue akan menjadi perempuan paling terkutuk di muka bumi.
Sebenarnya gue ingin sekali ke dokter kandungan, melakukan pemeriksaan lebih lanjut agar gue bisa tahu usia kandungan gue saat ini. Dokter umum yang gue dan Val datangi kemarin, hanya bisa menduga kalau usia kehamilan gue baru tiga atau empat minggu. Seperti apa bentuknya saat ini? Seperti apa rasanya melahirkan? Seperti apa rasanya jadi ibu? Seperti apa rasanya … jadi pembunuh?
Gue melepas selimut, lalu duduk memeluk kaki. Sekarang gue sudah tiga puluh tahun. Gue menghabiskan sepuluh tahun di Jakarta dengan sangat buruk. Kalau dulu gue menuruti keinginan Papa, kalau dulu gue tidak sok hebat, mungkin saat ini gue sedang berbahagia. Berbahagia dengan keluarga gue dan mungkin juga sedang berbahagia dengan seorang suami.
Ah, suami. Gue harus mulai memikirkan suami. Memangnya usia berapa gue akan menikah? Pacaran dengan Val membuat gue tidak pernah membuat target. Kenapa gue mau pacaran sama laki-laki antikomitmen kayak dia? Kami pacaran hanya untuk bersenang-senang dan bersenang-senang memang sangat menyenangkan. Tapi, saat susah seperti ini, baru gue sadar kalau Val memang tidak layak dijadikan suami.
Payah!
Gue kembali berbaring, kali ini telentang. Perlahan, kedua tangan gue sudah berada di perut. “Nak,” kata gue sedih, “apa pun yang terjadi besok, Ibu benar-benar minta maaf.”
Ah, ternyata begini rasanya jadi calon ibu. Gue tiba-tiba memikirkan Mama. Bagaimana rasanya jadi ibu yang sepuluh tahun tidak bertemu dengan anaknya?
Hari itu terngiang lagi.
Mama menangis dan menahan gue, tapi gue tetap pergi. Gue sudah telanjur sakit hati mendengar kata-kata Papa waktu itu. Gue anak yang tidak berguna. Gue anak yang hanya bikin susah orang tua. Gue anak bodoh. Gue anak durhaka.
Tiga bulan pertama pelarian gue, Mama masih intens menelepon. Mama juga mengirim banyak uang untuk gue. Sampai suatu hari, saat Mama sedang menelepon gue, Papa merampas hp Mama. Gue mendengar pertengkaran mereka dan gue yakin Papa memukul Mama saat itu. Akhirnya, gue memutuskan untuk mengganti nomor telepon, memblokir rekening gue, dan benar-benar melupakan mereka semua.