Masih terlalu pagi untuk menelepon Val, tapi gue harus melakukannya sekarang, sebelum Val telanjur datang menjemput gue. Semalam dia bilang, “Gue rela bolos kantor, rela ninggalin kerjaan yang menumpuk, semua demi lo, Tis.” Ada yang salah dengan kata-katanya, tapi semalam otak gue terlalu tumpul untuk menganalisis.
Hari ini gue memutuskan untuk tidak aborsi. Gue akan jujur pada Jack. Gue siap kehilangan pekerjaan. Gue siap didenda dan dianggap tidak profesional. Gue siap pulang mengemis pada Papa.
Tidak ada jawaban. Mungkin Val sedang mandi. Dia janji akan menjemput gue jam delapan, dua jam lagi. Gue langsung membuka piyama mandi gue, kemudian mencari baju di lemari. Baju putih polos tanpa lengan langsung gue kenakan. Gue memadukannya dengan celana kain puntung warna cokelat tua. Setelah selesai berpakaian, gue kembali menghubungi Val, masih tidak diangkat. Dengan sisa kesabaran, gue coba lagi, dan … suara perempuan di ujung telepon.
“Ini siapa, ya?” Setahu gue Val tinggal sendiri di rumah kontrakannya.
“Ini Sigi.” Gue seperti mendengar tusuk gigi, sikat gigi, tapi dia Sigi. Gue tahu nama itu. Dia bukan orang baru di lingkaran gue dan Val. Dia perempuan yang dulu ditemui Jack sedang bermesraan dengan Val. “Kenapa, ha? Kenapa ganggu orang malam-malam? Dasar nggak tahu sopan santun!” Suara perempuan di seberang sangat serak. “Pergi lo! Gangguin orang tidur aja. Goblok!” Gue yakin dia belum siuman dari mabuk.
“Dasar cewek murahan! Mana Val?” Suara gue barangkali sudah sampai di tetangga kamar gue, tapi gue ingat kalau kamar di sebelah kanan sudah kosong sejak sebulan lalu, sedangkan kamar di sebelah kiri gue, sangat jarang ditinggali penghuninya. “Kenapa hp-nya bisa sama lo? Mana dia? He, dengar, ya, Tusuk Gigi, jangan pernah ganggu hubungan gue sama Val. Nggak usah sok cantik, deh! Muka lo kayak tikus got!”
“Val lagi tidur di samping gue. Apa lo bilang? Gangguin hubungan lo? Lo yang gangguin gue, tolol!”
Telepon diputus Sigi. Sial! Gue mendadak cemas dan kesal. Setelah mondar-mandir sambil berpikir, akhirnya gue meraih kunci mobil di nakas. Di ambang pintu, gue teringat sesuatu. Gue berbalik ke kamar untuk menambah jumlah kunci di tangan gue: kunci serep rumah Val (yang gue curi beberapa bulan lalu dan sudah dianggap hilang oleh pemiliknya).
Jalanan cukup normal. Gue memacu mobil dengan kecepatan penuh, dengan suara Sigi yang terus terngiang. Val benar-benar keterlaluan. Jadi, selama ini dia memang berbohong? Sebelum mendapat laporan dari Jack, sebenarnya gue sudah beberapa kali mendapati pesan mesra Sigi di hp Val. Menurut Val, perempuan yang katanya seorang pengusaha itu yang terus-menerus menggodanya. Val berhasil meyakinkan gue kalau hanya gue perempuan yang dia inginkan, kalau hanya gue perempuan yang dia cintai.
“Omong kosong! Dasar pembohong! Sialan!” Gue menginjak rem tepat di depan rumah kontrakan Val. Hampir saja gue menabrak sekawanan bebek yang berbaris di depan gerbang.
Lorong yang masih lengang, membuat gue nekat memanjat gerbang yang tergembok. Gue tidak punya pengalaman memanjat sebelum ini, tapi luar biasanya, gue berhasil mendarat dengan selamat.
Di ruang tamu yang gelap—karena tirai dan jendela yang belum dibuka—gue mencari-cari jejak Sigi dengan bantuan hp. Ada sepatu high heels di sudut ruang tamu. Itu bukan sepatu gue. Itu pasti punya Sigi. Gue mulai gentar dan dada gue berdebar lebih kencang. Gue takut menyaksikan kenyataan yang terlalu pahit. Gue menyingkap tirai jendela, entah untuk apa. Tiba-tiba terdengar percakapan, sangat samar. Tidak ada kalimat yang berhasil gue tangkap utuh, tapi gue tahu itu suara Val dan seorang perempuan.
Kemarahan membuat gue tiba lebih cepat di depan kamar Val. “Buka, Val!” kata gue sambil menggedor-gedor pintu yang terkunci. “Berengsek! Cepat buka! Gue tahu lo sama Tusuk Gigi di situ.” Gue dengar suara berbisik, membuat gue kembali menggedor pintu. “Buka pintunya atau gue telepon Pak RT, biar kalian diarak keliling kompleks!”
“Tis!” Suara Val akhirnya terdengar sempurna, tajam, tapi gue tidak lagi ketakutan. “Mau lo apa, sih? Kenapa lo bisa masuk? Gue yang harusnya laporin lo ke polisi karena udah buat keributan di sini. Mending lo pergi sekarang!”
“Nggak! Gue nggak akan pergi! Buka pintunya, Val! Lo sama siapa di situ? Kalau lo emang nggak selingkuh, buka pintunya!” Lelah memukul-mukul pintu yang terbuat dari kayu solid, gue menaikturunkan gagang pintu. Sesaat, gue mendengar derik, lalu muncullah Val yang bertelanjang dada. Gue langsung menerobos masuk. Dengan pencahayaan minim dari matahari pagi yang masuk melalui ventilasi kamar, bisa gue lihat Sigi sedang memakai blusnya di belakang lemari.
“Oh, jadi gini kelakuan lo!?” Gue berteriak di depan wajah Val. “Lo bilang nggak ada apa-apa sama dia, tapi kalian tidur bareng! Sialan lo Val!” Gue memukul-mukul tubuhnya sekuat tenaga, sebrutal mungkin, sampai gue sendiri berkeringat.
“Hei, perempuan bodoh!” Sigi menarik lengan gue. “Lo jangan murahan! Val itu milik gue. Berhenti ngejar-ngejar dia karena lo nggak lebih dari seonggok sampah!”
“Lo yang sampah!” Gue langsung menerjang Sigi yang berpostur mungil. Val menarik gue dan gue kembali memukulinya. “Lo tahu gue lagi hamil, Val. Kenapa lo tega ngelakuin ini?” Sekarang gue menangis, menangis tersedu-sedu, dan Val tidak berusaha menenangkan gue.
“Gue udah bilang, anak itu pasti anak laki-laki lain!” Val mencengkeram kedua bahu gue. “Lo pasti tidur dengan laki-laki lain saat gue tugas ke luar kota, ‘kan?”
Gue menatapnya dengan tatapan iblis, kemudian mendaratkan tamparan ke pipinya. “Berani-beraninya lo bilang gitu, Val!” Gue mencoba berhenti menangis. “Jadi ini wujud asli lo? Pengecut! Pembohong! Harusnya selama ini gue ngedengerin kata-kata Jack.”
Val tertawa. Sigi ikut tertawa. “Atisa Varani,” Val meraih dagu gue. Gue memalingkan wajah secepat kilat, “Nggak masalah gue bangsat dan pengkhianat di mata cewek murahan kayak lo! Masalahnya adalah gue nggak suka perempuan hamil. Apa yang bisa diberikan perempuan hamil, ha? Lihat badan lo, gemuk dan sakit-sakitan!”