Harmoni, Disharmoni

Susi Idris
Chapter #21

DUA PULUH SATU

Sekarang adalah patah hati campur macet campur kelaparan. Berhenti di sebuah restoran rasanya adalah pilihan tepat. Sebagai perempuan yang hampir seluruh waktu makannya dihabiskan di luar, gue menghafal restoran terdekat.

Piring Penuh cukup lengang, mungkin karena masih setengah delapan pagi. Gue memarkir mobil di sebelah sedan hitam. Hanya ada tiga mobil dan beberapa motor di parkiran ini. Sebelum turun, gue mengelap wajah sembap gue dengan tisu di dasbor. Mata gue bengkak dan gue tidak pakai makeup. Tidak masalah. Gue yakin gue tetap cantik.

Piring Penuh adalah restoran yang nyaman. Suasana vintage sangat terasa. Gue melangkah ke sebuah meja di sudut restoran, duduk sekitar empat meter dari panggung kecil berisi gitar, bas, dan sebuah piano. Gue ingat, satu kali datang di malam hari, ada live music yang disuguhkan.

Gue memanggil pelayan, lalu memesan nasi goreng jamur, yellow truffle carbonarasalmon steak and sweet potatochocomarsmallow croissant pudding, jus buah rempah, dan air putih, masing-masing satu porsi. Gue benar-benar lapar, mungkin efek terlalu banyak menangis atau karena ada bayi di perut gue. Sabar, ya, Nak. Habis ini kita ke dokter kandungan. Ya, gue akan ke dokter kandungan, setelah itu (mungkin) menemui Jack.

“Halo, semua!” Gue mendongak. Seseorang di atas panggung itu … di depan mikrofon itu … di depan piano itu … Salman? “Mungkin terlalu pagi untuk ada di panggung ini, tapi tidak ada frasa ‘terlalu pagi’ untuk bernyanyi, ‘kan? Pemilik restoran ini teman kuliah saya. Setelah dapat sarapan gratis, ternyata dia minta imbalan agar saya bernyanyi untuk kalian.” Salman tersenyum tipis. “Kalau nyanyian saya kurang menghibur, silakan protes sama laki-laki di ujung sana.” Gue—seperti halnya beberapa pengunjung lain—langsung melihat ke arah yang ditunjuk Salman, pada sebuah sofa hijau pupus di dekat tangga. Oh, pemilik restoran ini ternyata botak, tapi kelihatan sekali dia masih muda.

Salman mulai memainkan jemarinya di tuts piano. Gue memandanginya dan dia akhirnya melihat gue. Refleks, bibir gue melengkung tipis (dengan keyakinan kalau dia pasti masih mengingat gue). Senyum balasannya membuat gue cukup senang. “Judul lagu ini,” ucapnya dengan piano yang masih mengalun, ‘Menantimu Jatuh Hati’. Semoga terhibur!”

Ribuan hari berlalu

Aku menanti, menulis lagu tentangmu

Kapan akan kau balas perasaan?

Cintaku selamanya adalah kejujuran

Menantimu jatuh hati

Akan kulakukan hingga sunyi

Tak ada ambisi

Aku hanya ingin menepati janji

Kadang kubayangkan kita tak berjarak

Biar lekas kuhapus kesedihanmu

Melukis bintang-bintang paling terang

Lalu senyummu mekar kembali

Malam hari, dalam mimpi

Kau memuji lagu-laguku

Bahagia kutulis lirik baru

Aku tak akan rapuh hanya karena menunggu

Lihat selengkapnya