Harmoni, Disharmoni

Susi Idris
Chapter #22

DUA PULUH DUA

Pembaca tercinta,

Kita mengenal rumah dengan empat ruang utama: ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dan kamar tidur. Ruang-ruang di dalam rumah adalah latar yang sangat potensial untuk dijadikan lokasi bagi cerita, tempat konflik bergulir, tempat (para) tokoh mengukir kisah, juga tempat berbagai rasa (akhirnya) terkuak. Bagaimana jika dalam sebuah novel hanya ada satu ruang yang disediakan bagi (para) tokohnya? Saya yakin, cerita akan menjadi unik, cerita akan menjadi sangat emosional.

Kubaca ulang ketikanku. Aku sangat optimis dengan konsepku.

Tara Media membuat sebuah proyek baru bertema “Ruang di Rumah, Ruang di Jiwa”. Empat pengarang berikut: (1) …, (2) …, (3) …, dan (4) …, akan mengeksplorasi tema tersebut untuk menghadirkan kisah-kisah menyayat hati, penuh kehangatan, serta sarat pesan berharga.

Kulepas jemari dari tuts keyboard, lalu mengkhayal. Aku memang mengharapkan cerita yang kelam, dingin, tetapi romantis. Di ruang tamu, misalnya. Apa yang seseorang lakukan di ruang tamu? Menunggu tamu, mengobrol dengan tamu, melepas kepergian tamu, atau ketiganya? Ketiganya bisa dicarikan plot menarik. Lalu, di ruang tengah. Ruang tengah atau ruang keluarga adalah tempat bersantai bersama orang-orang terkasih. Ada televisi yang menyala, makanan ringan, cerita-cerita panjang tentang perjalanan, atau sebaliknya. Televisi yang padam, makanan ringan di atas meja yang dikepung semut, dan … keheningan.

Lalu, aku memikirkan target pembaca. Karena berlatar ruang-ruang di rumah, cerita ini kupastikan bernapas “keluarga”. Entah nanti sang ibu yang berkisah, sang ayah, nenek, kakek, anak-anak mereka, atau bisa saja asisten rumah tangga.

Aku semakin optimis. Aku hanya perlu mencari penulis-penulis keren untuk menyukseskan proyek ini.

Ponsel di sebelah laptopku berdering. Pesan dari Maudy.

Mbak, kapan mulai kerja? Di Twitter udah ramai. Banyak yang kangen. :)

Ramai? Aku sedikit trauma dengan twit-twit Maudy untukku. Langsung kubuka Twitter dan … jelaslah apa yang terjadi.

@maudy_anjani - martabak cokelat keju dari editor cantik @diarakamila. thank you, Mbak. kutunggu di kubikelmu lagi, ya.

Twitpic itu langsung diserbu follower-follower penasaran. Sebagian besar menanyakan kesehatanku dan kebenaran kalau aku akan kembali di Tara Media, beberapa meminta martabak di foto itu, beberapa lainnya meretweet (entah untuk apa). Maudy dengan entengnya menjawab kalau aku sudah sembuh dan akan kembali bekerja. Lalu, banyak yang menyampaikan rasa syukur, rasa rindu, ada juga yang menulis “hore” dengan e berderet seperti kepala ikan teri. Editor kesayangan, kata beberapa akun. Bibirku melengkung juga.

Masalahnya, duh, Maudy benar-benar bertindak ceroboh.

Belum ada yang tahu tanggalnya, Dy. Jangan gembar-gembor dulu, ya.

Maudy langsung meneleponku, meminta maaf, menuduhku marah, dan aku akhirnya pura-pura tidak marah. “Iya, iya. Tadi emang aku marah, tapi sekarang udah nggak. Kamu lanjutin kerja, ya.”

Aku menyimpan ponsel dan kembali pada monitor, membaca tulisanku berkali-kali. Sekarang saatnya mencari mereka, empat novelis. Siapa kira-kira yang bisa menulis sesuai harapanku?

Lihat selengkapnya