Melalui Google, aku mencari penulis-penulis baru yang potensial, menelusuri blog demi blog, masuk ke Goodreads, lalu akhirnya mendapati dua nama. Keduanya penulis baru. Baru memiliki satu novel tunggal (yang terbit tujuh dan empat bulan lalu), tetapi karya mereka mendapat sambutan luar biasa dari pembaca. Aku memang akan mengajak dua penulis baru dan dua penulis senior untuk proyek “Ruang di Rumah, Ruang di Jiwa” yang sedang kugarap ini.
Penulis pertama, aku sudah membaca novelnya. Memang bagus, tetapi menurutku masih banyak kelemahan. Untuk penulis kedua, karyanya belum kubaca. Setengah jam lalu aku membeli novelnya di Google Play. Baru belasan halaman, aku sudah jatuh cinta. Gaya menulisnya yang agak puitis, tetapi padat menjelaskan konflik, sangat masuk kriteria yang kucari. Aku meletakkan tablet, lalu kembali pada laptop di hadapanku.
Dua nama lagi. Ini yang sulit. Ada banyak penulis Tara Media yang kukenal sangat keren. Aku harus memilih dua saja. Aku berpikir sejenak, lalu menuliskan enam nama. Bukankah semuanya masih akan dirapatkan?
“Ra.” Suara Ibu disertai ketukan pada pintu membuatku keluar dari ruang baca, lalu menuju pintu kamar. “Salman tidak makan siang di sini, ya?” Kulihat Ibu memakai apron. “Kok dia belum pulang?” Lalu, Mika muncul dan minta digendong.
“Mungkin singgah ke tempat lain,” sahutku seraya meraih Mika. “Nanti kutelepon.”
“Iya, soalnya Ibu mau masak ayam goreng kesukaan kalian.”
“Ayam goreng rica-rica?” tanyaku antusias. Ibu menggumam. Sudah lama aku tidak menyantap lauk kesukaanku itu yang khusus dibuat Ibu. “Aku bantu, ya, Bu.”
“Tidak usah, ada Bibi. Telepon Salman saja.”
Aku mendudukkan Mika di tempat tidur, lalu meraih ponsel di nakas. “Sal, lagi di mana?” Di seberang kudengar hiruk-pikuk, sedangkan di sisiku, Mika sedang berusaha mengeluarkan sebuah bantal dari sarungnya.
“Masih di restorannya Yogi. Ada apa, Kak?”
“Kamu ditraktir makan siang juga?”
“Tidak, ini lagi mau ambil mobil.”
“Mobil apa?”
“Tadi … itu … ada teman yang muntah di restoran. Dia sakit, aku antar pulang.”
“Oh. Jadi, kamu nggak pulang makan siang di sini? Ibu masak ayam kesukaan kita.”
“Pulang, kok. Aku langsung pulang habis ini.”
Setelah memutus sambungan, pandanganku tertuju pada jam di ponselku. Pukul 11.45. Masih ada waktu untuk memantapkan konsep proyekku sebelum makan siang. Aku harus bergerak cepat.
***