Beberapa jam lagi, hari ini berganti. Hari yang sangat melelahkan. Tangan gue masih diinfus dan gue sudah berada dalam posisi berbaring seperti ini nyaris dua belas jam.
Pandangan gue lalu tertuju pada Mama dan Pong di dua sofa dekat pintu. Mereka tertidur pulas dengan selimut yang gue tahu berasal dari lemari di apartemen gue. Entah siapa yang mengambilnya, mungkin Jack, mungkin Salman, mungkin Jack dan Pong. Gue tidak tahu. Yang gue tahu, Mama dan Pong hanya membawa pakaian seadanya. Mereka buru-buru berkemas setelah Jack menelepon Pong, memberi tahu kabar buruk tentang gue. Wajah mereka tampak lelah. Mereka datang—setelah sekian tahun tidak bertemu dengan gue—dan harus menerima kenyataan kalau gue sedang terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit. Belum lagi, mereka harus mendengar vonis dokter yang menyatakan kalau gue keguguran.
Akhirnya, semua tahu kalau gue hamil. Jack, Mama, dan Pong, tampak sedih. Salman terlihat prihatin. Gue ingin menjelaskan semuanya, tapi mereka menyuruh gue istirahat. “Lo harus sehat dulu, Tis,” kata Jack tadi. “Urusan itu, nanti aja. Cepat sembuh, ya.” Gue memandang Jack dengan mata berkaca-kaca.
Lain Jack, lain Mama. Mama justru meminta maaf sama gue. Itu terasa salah. “Aku yang harusnya minta maaf, Ma,” kata gue pascaoperasi kuretasi enam jam lalu.
“Tidak, Sayang. Dari dulu, waktu nomormu tidak bisa Mama hubungi lagi, seharusnya Mama mencari tahu keberadaan kamu. Tapi, Mama terlalu takut sama Papa.” Mama sesenggukan. “Sepuluh tahun ini Mama tidak ada di sisi kamu. Mama sudah melewatkan segalanya tentang kamu.”
Aku ikut menangis dan Pong menepuk-nepuk kepala gue, seolah-olah guelah yang anak kecil dan dia sudah dewasa.
Sayang, tidak ada Papa di sini. Mungkin sampai mati pun, Papa tidak sudi menemui gue. Ah, tidak seharusnya gue berpikir seperti itu setelah semua kesalahan yang gue perbuat pada Papa. Lagian, memangnya gue siap ketemu Papa? Tidak, gue tidak siap. Gue bahkan berharap Mama belum menceritakan pada Papa apa yang terjadi sama gue.
Gue memejamkan mata, lalu merasakan ketiadaan apa pun di perut gue. Kata dokter, calon anak gue masih bernama embrio. Dia belum berubah menjadi janin, karena usianya yang masih empat minggu. Gue baru tahu pengelompokan itu. Jaringan embrio keluar dari rahim saat pendarahan tadi. Lalu, karena rahim gue belum bersih, gue diharuskan menjalani kuretasi, suatu prosedur medis untuk membantu membersihkan rahim. Semuanya sudah gue jalani, menyisakan kekosongan di rahim gue.
Benar-benar kosong. Air mata gue kini tumpah, mengalir begitu pasrah. Betapa menyedihkannya kehilangan ini. Meskipun gue pernah berniat menggugurkannya, meskipun ukurannya baru sebesar 0,2 cm di rahim gue, tetap saja gue kehilangan. Bagaimana pun, kami pernah begitu dekat. Bagaimana pun, gue ini calon ibu.
Bahkan sebagai ‘calon’ pun gue gagal. Gue tidak becus. Gue tidak berguna.
Pong terbangun mendengar gue sesenggukan. “Kak,” katanya dengan nada dan tatapan prihatin. Gue buru-buru diam dan Pong menendang selimutnya. “Kakak jangan sedih terus,” ucap Pong yang kini duduk di samping gue. Pipi tembamnya kusut, matanya sayu, dan dia duduk di kursi plastik dengan kemiringan yang mengkhawatirkan. “Aku juga sedih, tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi, tidak ada yang bisa diubah, tapi semua orang bisa berubah, ‘kan?” Dia menekan-nekan pipi gue yang basah dengan telunjuk gemuknya, lalu kembali berkata, “Kakak tidak boleh seks bebas lagi.” Gue memandangnya tidak percaya. Anak kecil yang dulu pipinya sering gue cubit, sekarang sedang menasihati gue tentang seks bebas? “Pokoknya, Kakak harus bisa menjaga diri.”
Oh, anak ini pasti belum pernah jatuh cinta, tapi Pong benar. Gue memang perempuan yang tidak bisa menjaga diri. “Makasih, Pong. Aku ngerasa bersalah banget.”
“Tidak apa-apa.” Pong mengelus-elus punggung tanganku. “Ini salahku juga, seharusnya aku memaksa Kakak pulang, berdamai dengan Papa.”
Gue langsung memejamkan mata. Pembahasan tentang Papa masih sulit gue terima.
“Kenapa, sih, Kakak tidak mau pulang?” Pong malah mengungkit hal sensitif itu dengan suaranya yang manja. “Atau … okelah kalau di sini Kakak ingin berkarier, tapi apa salahnya pulang sesekali?” Sesaat hening, membuat gue merasa semakin tidak nyaman. “Kami semua sayang sama Kakak. Aku, Mama, dan Papa.”