Gue dan Pong duduk di sofa menonton televisi. Acara memancing ikan sungguh sangat membosankan, tapi Pong kelihatan sangat antusias. Gue menekan lagi nama Jack di ponsel. Masih tidak diangkat. Gue menghela napas. “Pong, olimpiademu bulan berapa?"
"Bulan depan, Kak. Tanggal 15."
"Oh. Di mana?"
"Di Palembang."
"Wow! Semoga sukses, Pong. Eh, rencananya kamu mau SMA di mana nanti?”
“Di SMA Kakak dulu.”
“Ih, jangan sekolah di situ.” Gue menarik baju Pong yang berdiri dan bergaya seolah-olah sedang memancing dan seekor ikan besar sudah memakan umpannya.
“Memangnya kenapa?” Pong tersenyum mengejek seraya duduk kembali. “Kakak malu, ya, kalau nanti mereka tahu aku adik Kakak.”
Gue tertawa. “Dasar! Kenapa juga aku harus malu? Bangga, dong. Meskipun nanti mereka akan bandingin aku sama kamu.”
“Yeay!” Pong melihat ke arah pintu. Mama sudah pulang. “Ma, manggis ada, ‘kan?” Tadi pagi saat kembali dari rumah sakit, Mama prihatin melihat kulkas anak gadisnya yang hanya berisi minuman kaleng, jus kemasan, dan telur ayam yang sudah busuk. Gue menoleh dan melihat belanjaan Mama yang sangat berlebihan.
“Mama belanja apa aja? Ini banyak banget, Ma.” Gue ikut membawa plastik-plastik belanjaan Mama ke dapur.
“Ini tidak banyak, kok, Sayang,” sahut Mama. “Manggismu di plastik merah!”
Pong langsung membuka plastik yang ditunjuk Mama. Gue melihat meja dapur gue yang biasanya kosong, sekarang penuh. Ini seperti meja orang-orang yang hobi masak.
“Ini ada daging, udang, ikan, telur, sayur, buah, bumbu dapur ….” Mama menyebutkan satu per satu belanjaannya. Pong menarik kursi makan dan melahap manggisnya di hadapan tumpukan belanjaan. Seandainya gue tahu dia penggemar manggis, gue akan kirim manggis sekarung untuk hadiah ulang tahunnya beberapa hari lalu.
“Kalau lusa Mama pulang, paling semuanya busuk. Aku kan nggak bisa masak, Ma.”
Pong tertawa. “Ajarin Kakak masak, Ma.”
“Gampang, asal Tisa-nya mau.”
Belajar masak? Gue benar-benar harus belajar dari nol. "Ma, kupas bawang aja aku nggak bisa, Ma."
“Kak, hp Kakak bunyi.”
Gue menoleh dan girang mendapati nama Jack di layar hp. “Jack, akhirnya lo angkat juga telepon gue.”
“Ini gue yang nelpon loh.”
“Iya, gue tahu.” Gue duduk di sofa. “Jack, gue udah balik apartemen tadi pagi. Lo nggak pernah hubungin gue lagi. Lo marah, ya, ama gue?”
Jack tertawa. “Tisa, Tisa, gue ini manajer sibuk.” Dia menyombongkan diri seolah-olah kami baru saling mengenal kemarin sore. “Oke, itu nggak lucu, tapi nggak salah juga, sih." Dia berdeham. "Gini, Tis, ibu dan adik lo kan baru lagi ketemu lo, jadi gue nggak mau gangguin kebersamaan kalian dengan urusan pekerjaan yang pasti bakal lo tanyain kalau ngelihat batang hidung gue.”
“Jack, gue nggak bisa nggak nanyain pekerjaan. Maksud gue, apa kontrak dengan pihak Emerzing akan batal? Apa gue kena denda? Atau … mungkin lo nggak mau lagi memperpanjang kontrak gue yang akan berakhir bulan depan?”
“Tis, masalah kehamilan dan keguguran lo, hanya gue, lo, Val, Salman, dan keluarga inti lo yang tahu. Gue udah bicara sama Salman untuk merahasiakan semuanya dan dia menyanggupi itu.”
“Apa Salman bisa dipercaya?”
“Lo meragukan dia?”
“Nggak,” jawab gue jujur, “tapi, Jack, dia adik Diara. Untuk menjatuhkan karier gue, kakaknya bisa aja menggali informasi—”
“Tunggu, untuk apa Diara menjatuhkan karier lo?”
“Dia itu musuh bebuyutan gue sejak SMP, Jack.” Gue berhenti karena menyadari intonasi gue mirip petasan di pagi buta. Pong dan Mama mungkin menguping. “Gue sama dia udah kayak air dan minyak, sampai kapan pun nggak akan cocok.”