Gue sengaja datang lima belas menit lebih cepat dari waktu pertemuan, karena … "tidak mudah bertemu dengan adik musuh bebuyutan untuk bilang terima kasih karena sudah menolong saat hari keguguran dan tolong jangan membuka aib ini sama siapa pun, apalagi sama kakak lo."
Gue takut dia akan bertanya: Sudah berapa lama kamu dan Val pacaran? Kenapa dia tidak muncul di rumah sakit? Kenapa dia tidak mau bertanggung jawab? Kenapa kamu memanggil kakakku Dadar Gulung? Kenapa kalian bisa bermusuhan?
Gue menghela napas. Salman muncul di depan pintu dengan segala pesonanya. Gue mulai duduk seanggun mungkin, tanpa beban, tanpa ketakutan.
“Hai! Apa kabar?”
Gue meraih uluran tangan Salman, “Baik,” ucap gue dengan senyum merekah. “Lo?”
“Baik juga.” Salman duduk di hadapan gue. “Sori, ya, aku telat.” Dia meraih buku menu. “Mau pesan apa? Yang terlambat yang traktir.”
“Lo sengaja telat, cuma buat traktir gue?”
Salman tersenyum. “Aku tadi berencana kayak gitu, tapi malah bangun cepat. Untung di jalan macet.”
Sekarang gue yang tersenyum. Gue meraih satu lagi buku menu di ujung meja. Salman memanggil pelayan, lalu menyebut pesanan kami. “Sal,” kata gue, “makasih banyak, ya, lo udah bantu gue minggu lalu. Kalau nggak ada lo, mungkin gue udah mati.”
“Sama-sama, Tis.” Salman menatap gue intens. Aku melihat matanya memancarkan ketulusan. "Kebetulan aja aku ada di situ."
“Dan gue bersyukur yang ada di situ, saat itu, bukan orang lain,” kata gue jujur. “Lo datang di waktu yang tepat dan ngambil keputusan-keputusan tepat untuk gue. Mudah-mudahan kuliah lo cepat kelar dan karier lo bersinar.”
Salman tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang teratur. “Kamu pendoa yang puitis. ‘Kelar’ dan ‘bersinar’ ada rimanya. Amin. Mudah-mudahan dikabulkan.”
Gue mengucap ‘amin’ dalam hati dan berharap ada malaikat yang mencatatnya. “Oh, iya, besok lo rekaman single pertama, ‘kan?”
Salman mengangguk. “Iya, mungkin kamu tertarik jadi suporter Jack?”
“Tertarik banget,” kata gue sambil mengumpulkan rambut di belakang telinga, “tapi besok gue harus ke Surabaya. Udah janji ama Pong dan Mama.”
“Oh, pulang kampung, ya? Akhirnya …. Mm, maksudku, memang pulang itu selalu menyenangkan.”
Aku menunduk, berpikir apa saja yang sudah diketahui Salman tentang gue. Lalu, pelayan datang mengisi meja kosong kami dengan aneka makanan dan minuman.