Suara penyiar radio di hp gue langsung berganti suara getaran. Jack memanggil. Oh, gue rindu manusia ini. “Ada apa, Pak Manajer?”
“Tis, lo udah dengar kabar?”
“Kabar apa?” Tangan gue yang bebas mulai mengulas pipi dengan perona merah muda.
“Mm, sebenarnya … mungkin … ini ….”
Jack, lo keracunan obat nyamuk?
“Ini tentang Val.”
“Kenapa dia?” tanya gue santai. Masa bodoh dengan laki-laki kurang ajar itu.
“Dia kecelakaan, Tis, parah!” Gue langsung menurunkan kuas perona pipi. Gue memandang pantulan wajah gue di cermin. Wajah Val melintas tiba-tiba. “Mobilnya ditabrak truk,” lanjut Jack. “Teman gue bilang, mobil yang menabrak, pengemudinya meninggal di tempat.”
“Kapan kecelakaannya, Jack?” Suara gue cukup tegang. “Di Jakarta?”
“Iya, di sini,” terang Jack. “Kejadiannya kemarin sore.”
Gue terdiam cukup lama setelah sambungan terputus. Val kecelakaan? Parah? Jujur, gue kasihan kalau terjadi apa-apa sama dia. Dia tidak punya keluarga. Maksud gue, sekarang siapa yang mengurus orang itu? Ketukan di pintu langsung menyadarkan gue dari lamunan. “Ya?”
“Teman Non sudah datang.”
“Oh,” gue langsung berdiri, “suruh tunggu sebentar, Bi, aku udah siap.” Maksud gue, hampir. Gue meraih lipstik merah muda di kotak makeup, lalu memulas bibir. Sesaat, gue mematut diri di cermin, memandangi gaun hijau tosca selutut dengan blazer putih gading yang gue pakai. Gue merapikan rambut yang tergerai, lalu meraih wedges putih di lemari sepatu. Gue sudah siap jalan dengan Salman. Sampai sekarang, jujur, gue tidak pernah menyangka akan akrab dengan adik musuh bebuyutanku sejak SMP.
Setelah pertemuan di kafe, kami jadi sering chat di WhatsApp. Dia yang memulai, tentu saja. Tapi, Salman memang asyik dan baik. Kami beberapa kali bertemu untuk makan siang bersama atau sekadar jalan-jalan biasa ke mal.
Di bibir tangga, gue berhenti. Benar-benar, deh, keluarga gue ini. Masa Salman dijepit begitu? Mama duduk di hadapan Salman, sedangkan Papa dan Pong masing-masing berada di samping kanan dan kiri Salman. Gue buru-buru mendekat. “Hei, aku siap!”
“Kakak menor kayak badut!” Pong berkata dengan wajah serius.
“Menor apanya? Ini menor, ya, Ma?” Gue menunjuk wajah, mulai tidak yakin dengan kemampuan berdandan gue yang sudah tersohor sejak SMP.
“Tidak, kok,” sahut Mama, “Itu sudah pas!” Gue langsung tersenyum culas pada Pong.