Harmoni, Disharmoni

Susi Idris
Chapter #29

DUA PULUH SEMBILAN

Aku masuk ke dapur dengan sepapan pil KB di tanganku. Aku belum mau punya anak lagi, setidaknya sampai proyek yang sedang kutangani selesai dan sukses. Aku meraih gelas, mengisinya dengan air di dispenser, kemudian mengambil dua butir pil. Saat pil-pil ini melewati tenggorokanku, aku mengingat Arlen yang sedang kubohongi. Tidak. Kenapa harus aku yang terus-menerus mengalah? Aku berbalik dan Arlen muncul di ambang pintu. “Ada apa, A?” kataku sambil menyembunyikan tangan di belakang.

Arlen mendekat. “Aku mau minta Bibi buatin kopi, tapi mungkin dia udah tidur, ya?”

“Bolanya udah mulai? Nanti aku yang buatin.” Arlen kini hanya berjarak beberapa senti di hadapanku. Aku mendadak tegang dan menjatuhkan papan pil KB di tanganku. Mata Arlen seketika beralih ke lantai. Aku bergeming, tidak berani berbuat apa-apa.

“Kamu masih minum ini?” Arlen meraih papan itu.

“Ng-nggak,” kilahku. “Itu mau kubuang.”

“Buang?” Arlen memandangku dengan ekspresi kesal. “D, jangan bohong.” Dia mempersempit jarak kami. “Kamu benar-benar nggak mau punya anak lagi, ya?”

Pertanyaan itu terdengar sangat putus asa, tetapi bagiku itu lebih tepat disebut ancaman. “Kamu nggak pernah mau ngerti keinginanku, A.” Aku berjalan melewati tubuhnya. Dia mengejarku hingga kami sampai di kamar. Aku masuk ke ruang baca, dia mengikutiku. Aku duduk di depan laptop, dia menarik kursi ke hadapanku. Kami kini terhalang sebuah meja, tetapi dia mencondongkan tubuh agar lebih dekat padaku. Aku langsung menyibukkan diri untuk membuka apa saja di Google.

“D, kita harus saling ngerti.” Arlen berkata lembut. “Aku bukannya nggak mau ngerti keinginanmu, tapi keinginan terbaiklah yang harus kita ambil.”

“Maksudmu, keinginanku … keinginan yang buruk?” Aku mengentak-entakkan jemari di keyboard. “Apa keinginan bekerja itu buruk? Apa keinginan menunda kehamilan itu buruk?”

“D, aku nggak tega lihat kamu bekerja terlalu keras, juga nggak tega kalau Mika harus diajak ke kantor.” Aku mendongak sekilas. Arlen kemudian mendesah. “Dan, apa kamu pernah bilang tentang menunda kehamilan lebih lama lagi? Nggak, D, aku baru tahu sekarang.”

“Kalau tentang Mika, aku kan udah berkali-kali bilang, kita tinggal cariin dia penjaga.” Aku melepas jemari dari touchpad, memandang sedikit gentar ke wajah Arlen. “Dan iya, aku memang belum mau punya anak lagi. Kamu sekarang tahu, ‘kan? Aku belum mau punya anak lagi.”

“Aku nggak ngerti, D,” Arlen meraih kedua tanganku, “Aku kan pernah tanya, kamu masih trauma mengandung, trauma melahirkan, atau gimana, dan kamu bilang udah nggak.”

“Itu karena aku nggak mau ke psikiater lagi! Aku capek, A.”

"Ke psikiater untuk nenangin diri dan pikiran kamu yang udah kompleks, D."

Aku memelotot. "Aku cuma paranoid biasa, A. Kamu juga tahu aku nggak butuh obat. Aku hanya butuh orang-orang yang ngerti aku, tapi sayangnya ... sayangnya nggak banyak."

Lihat selengkapnya